13 : her fear?

365 44 3
                                    

Pagi itu, cahaya matahari yang menerobos tirai kamar membangunkan Ann dari tidurnya. Ia mengerjap, membiarkan matanya menyesuaikan dengan cahaya yang masuk. Tubuhnya terasa sedikit kaku setelah semalaman tidur dalam posisi yang tidak biasa --memeluk tubuh besar Max semalaman.

Ann menggeliat perlahan, mencoba menghilangkan rasa pegal, namun seketika itu juga, ia merasakan sesuatu yang hangat dan lembut menyentuh lengannya, dan baru menyadari  menyadari bahwa Max masih memeluknya erat.

Gadis itu menoleh dan melihat Max menciumi lengannya dengan penuh gairah, bibirnya menelusuri kulitnya yang halus dengan cara yang agresif namun terkontrol.

"Max...?" Ann berbisik parau, ia baru saja terbangun dari tidur yang membuat kepalanya sakit dan harus seketika menghadapi ini. Ann mencoba memahami apa yang sedang terjadi.

Max tidak merespons dengan kata-kata. Ia hanya melanjutkan aksinya, menciumi dan menggigit lembut lengan Ann seolah sedang menyalurkan seluruh emosinya melalui sentuhan itu.

"Ann.. sayangku.."

Ann bisa merasakan detak jantungnya semakin cepat. Sensasi yang ditimbulkan oleh ciuman Max membuatnya bingung antara menikmati dan merasa cemas.

"Max.. apa yang kau lakukan?" Ann akhirnya bertanya, suaranya sedikit bergetar.

Max berhenti sejenak, menatap Ann dengan mata yang penuh dengan rasa lapar dan kerinduan. Tanpa berkata apa-apa, ia kembali mencium lengan Ann, kali ini lebih dalam, seolah mencoba menegaskan perasaannya.

"Aku tidak bisa menahan diri," Max akhirnya mengakui, suaranya rendah dan serak. "Setelah semua yang terjadi, aku merasa harus memastikan kau nyata, bahwa kau benar-benar di sini bersamaku."

Max kemudian mengangkat pandangannya, mata biru safirnya tampak lebih gelap, penuh hasrat. "Ann... Aku membutuhkanmu," bisiknya dengan suara parau, sebelum melanjutkan menciumi lengan Ann, naik menuju bahunya. Setiap ciuman terasa seperti api yang menyulut sesuatu dalam diri Ann.

Ann merasakan tubuhnya merespons sentuhan Max, darahnya mengalir lebih cepat. Ia bisa merasakan napas panas Max di kulitnya, setiap ciuman yang diberikan Max semakin agresif, seolah pria itu tak bisa menahan dirinya lagi.

"Max, tunggu..." Ann mencoba berbicara, namun suaranya tersendat di tenggorokan.

Max menghentikan ciumannya sejenak, menatap Ann dengan intens.

"Ann..." lirihnya serak, suaranya pecah di ujung kalimat, "jangan tinggalkan aku... aku mohon... aku akan melakukan apa saja agar kau tetap tinggal. Apapun. Mengemis padamu pun akan aku lakukan jika itu yang kau mau."

Kata-kata gila Max yang biasanya terdengar arogan kini dibungkus oleh nada kesedihan dan keputusasaan.

Ada sesuatu yang berbeda dalam suaranya, sebuah kelembutan yang jarang terlihat. Mata birunya yang tajam kini tampak keruh, dipenuhi bayangan penderitaan dan ketakutan. Bibirnya yang selalu tersenyum sinis kini bergetar, menahan kepedihan yang mendalam.

Melihat matanya yang berkabut, memancarkan kebingungan dan ketakutan yang jelas pada Ann. Emosi baru membara dalam diri Max —amarah bercampur ketakutan yang membelenggu.

Namun, pria itu berusaha keras mengendalikan dirinya, menekan dorongan untuk berteriak, menahan semua amarah dan ketakutannya yang memuncak.

"Kau pasti takut dan sangat membenciku sekarang, Ann. Aku menyakitimu. Kau terluka karena aku. Aku memang pantas dibenci, Ann. Seperti yang semua orang lakukan," suara Max pecah dengan nada putus asanya.

Mendengar ungkapan putus asa Max, Ann seketika menggeleng. "Aku--"

"Kau boleh membenciku, Ann. Tapi aku mohon, jangan pernah meninggalkan aku. Aku tidak ada artinya tanpamu. Tidak ada artinya lagi aku masih tetap hidup--"

"Max, berhenti mengatakan itu," suara Ann bergetar, mencoba menahan air mata yang mengancam turun.

"Kau ingin membantah? Aku akan memilih mati tanpa pikir panjang. Aku tidak memiliki siapapun di dunia ini, Ann." kata-kata Max terdengar hampa, seolah kehidupan telah direnggut darinya.

Pria itu kemudian melanjutkan kalimat gilanya dengan tegas dan tanpa gentar,

"Aku akan mati untukmu, Ann."

"Max!"

Ann tanpa sadar berteriak. Tidak, kalimat seperti itu menurutnya bukanlah kalimat yang patut diperuntukkan bagi orang lain apalagi hanya seorang gadis sepertinya.

Ann menggenggam tangan Max dengan erat, seolah berusaha memindahkan sebagian dari kekuatannya ke dalam diri pria itu.

"Max, dengarkan aku. Aku tidak membencimu. Aku juga tidak takut padamu... aku lebih takut kehilanganmu, jadi tolong, aku tidak ingin mendengar kata-kata itu lagi, Max.."

Mendengar itu, Max tersenyum tipis, lalu melanjutkan ciumannya, kali ini lebih lembut namun tetap penuh gairah.

"Benarkah itu, Ann? Katakan sekali lagi bahwa kau takut kehilangan aku. Katakan, Ann."

Bibirnya menjelajahi bahu Ann, naik ke leher, membuat Ann merinding oleh sensasi yang ditimbulkan.

Ann membiarkan dirinya tenggelam dalam momen itu, merasakan setiap ciuman dan sentuhan yang diberikan Max.

"Ann... sayang... katakan.. aku sangat ingin mendengarnya."

Max menciumi leher Ann semakin agresif, menuntut kata pengakuan dari Ann yang membuat jantungnya berdebar kencang.

"Aku takut kehilangan dirimu... Max..." Ann mengaku lirih kala wajahnya perlahan terasa panas.

Max menunduk, mencium rambut Ann sebelum perlahan-lahan menelusuri wajahnya dengan bibirnya, kemudian berhenti di bibirnya untuk ciuman yang dalam.

Ann merespons dengan lembut, membiarkan dirinya tenggelam dalam momen itu.

Mereka berciuman dengan penuh gairah, tangan Max menjelajahi punggung Ann, menariknya lebih dekat hingga tubuh mereka bersentuhan tanpa jarak.

Jantung Ann berdetak kencang, berdebar-debar seperti alunan musik yang semakin intens. Setiap sentuhan Max memicu gelombang sensasi yang membuatnya merasa hidup, membara dengan antusiasme yang sama. Tubuhnya merespons, bergetar dengan keinginan yang tak tertahankan.

Max menghentikan ciumannya sejenak, menatap dalam-dalam ke mata Ann. "Aku mencintaimu," bisiknya, suaranya serak dengan emosi yang menggetarkan.

Mereka kembali berciuman, kali ini lebih lembut namun tetap penuh dengan gairah. Tangannya bergerak perlahan, mengeksplorasi setiap lekuk tubuh Ann, seakan-akan mencoba menghafal setiap detilnya.

Max sudah menyentuhnya dimana-mana, Ann sadar sekali jika tidak segera dihentikan pria itu akan semakin hilang kendali, namun tubuh Ann seolah tidak ingin menolak.

Ann mengaku dirinya sangat lemah.

"Max..."

"Iya sayangku? Apa kau juga akan mengatakan kau mencintaiku?"

Kecupan-kecupan basah Max menghujani leher dan bahunya, begitu bergairah dan terburu-buru. Max merasakan tubuhnya memanas, tepat seperti respon tubuhnya ketika bersentuhan dengan Ann. Dia ingin meng-klaim seluruh tubuh mulusnya, hanya untuknya.. dan menyentuh semuanya tanpa terkecuali--

"Tuan Max, sarapan anda sudah siap. Apakah anda ingin makan di meja atau diantarkan ke dalam?"

Suara John yang menggelegar dari sistem pintu canggih itu menginterupsi mereka. Ann segera mendorong Max dan duduk di tepi ranjang, wajahnya memerah gugup.

Max menggeram kesal. "Sialan! Mengganggu saja!"

Dengan nada uring-uringan, dia menjawab, "Aku bisa mencari makanan sendiri jika lapar! Jangan ganggu aku lagi!"

Melihat Ann yang kini bersiap-siap pergi, Max menatapnya dengan tatapan memohon.

"Ann, kita belum selesai.."

Ann terbelalak gugup dan buru-buru berjalan keluar. "A-aku masih memiliki beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan, Max."

"Ann!!!"

Die Into YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang