Ann menunggu kepulangan Max di kamar pria itu, matanya mengikuti setiap gerakan tubuhnya begitu ia melangkah masuk, penuh percaya diri seperti biasanya, meskipun ada bayangan kelelahan yang tersembunyi di balik wajah dinginnya.
Saat mata mereka bersirobok, Max memaksakan ekspresi, mempertahankan keangkuhan yang ia tunjukkan sejak pagi tadi.
"Bagaimana hari pertamamu, Max?" sapanya lembut, suaranya meredam ketegangan yang tampak di wajah Max.
Di dalam hati, Max ingin langsung menarik tubuh mungil Ann, menciuminya tanpa henti, tapi ia terlanjur memupuk gengsi yang membuatnya tetap di tempat.
"Hari pertama?" Max menyeringai samar, lalu melepas dasinya, sedikit kesal. "Kau pikir aku anak kecil yang baru mulai belajar bekerja?" Nadanya tinggi, tetapi Ann tahu itu hanyalah salah satu bentuk defensifnya.
Ann tersenyum, sedikit yakin bahwa kondisi kesehatan mental Max akan semakin membaik.
"Ah, aku sudah menyiapkan air hangat untukmu. Membersihkan tubuh pasti akan membuatmu lebih nyaman. Kalau begitu, aku tinggal ya, supaya kau bisa beristirahat——"
"Apa aku memintamu keluar?" Max menyela tajam.
"Apa yang kau butuhkan, Max?" Ann masih mempertahankan kelembutannya.
Max menggigit bibirnya, merasa kesal tanpa tahu bagaimana mengungkapkan emosinya yang meluap-luap. "Bantu aku melepaskan baju ini," titahnya akhirnya, lebih mirip perintah.
Ann mengangkat alisnya, menahan senyum kecil. "Kau bilang kau bukan anak kecil, tapi tak bisa melepaskan baju sendiri?"
Max terdiam, bingung sesaat, tapi tetap mempertahankan ekspresi serius. "Lakukan saja, Ann," gumamnya dengan nada penuh otoritas.
Tanpa banyak bicara lagi, Ann melangkah mendekat, mulai membuka jas Max, lalu jari-jarinya pelan-pelan mengendurkan kancing kemejanya satu per satu, memaparkan dada bidang pria itu di bawah cahaya lembut kamar.
Gadis itu bisa merasakan detak jantung Max semakin cepat, meski pria itu menahan ekspresinya.
"Max," kata Ann lembut, berhenti sejenak. "Apa kau benar-benar masih marah padaku?"
Max mengalihkan pandangannya sejenak, ekspresinya datar namun tegang, seperti api yang belum menyala sepenuhnya. "Aku tidak pernah marah, Ann," gumamnya dingin. "Jangan berpikir terlalu jauh."
Ann menarik napas dalam, lalu dengan lembut menyentuh pipinya, menelusuri rahangnya yang kaku.
"T-tapi aku merasakannya. Jangan bohong, Max," ujarnya, suaranya rendah, hampir seperti bisikan yang menenangkan.
Max terkejut, gerakan tangannya kaku saat ia akhirnya melepaskan tangan Ann dari wajahnya, lalu menatapnya penuh intensitas.
"Kau selalu membuatku lemah, Ann. Lemah dan tak berdaya," ucapnya dengan suara bergetar. "Aku benci itu. Benci merasa seolah kau adalah segalanya bagiku."
Ann mundur sejenak, wajahnya tampak terkejut namun masih berusaha menenangkan Max. Ia menelan ludah, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk mengerti apa yang sebenarnya pria itu rasakan.
"Max... maksudmu apa?"
"Kapan kau akan benar-benar mencintaiku, Ann?!" Kekesalannya tak lagi bisa ia sembunyikan kini.
Tatapan Max menajam, penuh hasrat yang mencampuradukkan kemarahan dan keinginan yang telah lama tertahan.
"Aku tahu kau merasakannya. Kau menginginkan aku di sini, Ann. Kau ingin aku tetap di sisimu, kan?" Max menunduk, berbisik dengan nada rendah yang penuh penekanan. "Atau semua dugaan itu hanya halusinasiku semata karena aku terlalu menggilaimu?! Apa aku harus terus mengemis padamu, Ann?!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Die Into You
Romansa"Aku sudah menjadi pria yang baik. Mengapa kau tidak membiarkanku menjadi priamu, Ann?" Max merengek putus asa. rate : mature © all pics from : pinterest FOLLOW SEBELUM MEMBACA, YA!!!