Max akhirnya duduk di sofa seberang Ann, posturnya santai, tetapi auranya tetap mendominasi ruangan. Punggungnya bersandar di sofa empuk itu, satu tangan bersilang di dada sementara tangan lainnya mengetuk-ngetuk pahanya dengan ritme perlahan.
Tatapannya tajam, tak pernah lepas dari Ann yang duduk gelisah di hadapannya. Senyum tipis terlukis di bibir Max, cukup halus untuk terlihat santai, tetapi cukup menusuk untuk membuat Ann merasa ada sesuatu yang ia rencanakan.
"Kemarilah, Ann," ucap Max tiba-tiba, memecah keheningan. Suaranya rendah, namun setiap kata yang terucap terasa seperti perintah yang tak bisa dibantah. Ia menepuk pahanya perlahan, menegaskan maksudnya.
Ann langsung menoleh, matanya membelalak kaget.
"M-Maaf?!" tanyanya gugup, mencoba menyembunyikan keterkejutannya dengan tawa kecil yang terdengar terlalu dipaksakan.
Max tidak bereaksi, hanya menatapnya dengan kesabaran yang tak tergoyahkan. "Kemarilah," ulangnya, kali ini dengan nada yang lebih berat. Tangannya kembali menepuk pahanya, menunggu Ann untuk menurut.
Ann menatapnya dengan pandangan tak percaya. "Max, kau pasti bercanda," katanya akhirnya, mencoba menjaga jarak meskipun hatinya mulai berdebar tak karuan.
Max hanya menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa, sikapnya masih terlalu santai untuk situasi yang membuat Ann ingin kabur.
"Kau pikir aku bercanda?" tanyanya ringan, tetapi ada ketegasan di balik nada itu. "Aku tidak suka mengulang tiga kali, Ann."
Ann mendengus kecil, mencoba menyembunyikan rasa gugup yang kini semakin sulit dikontrol. "Aku tidak—"
"Ann." Nada Max berubah, lebih dalam, lebih memerintah. Suaranya menembus pertahanan Ann, membuatnya terdiam seketika. Napas panjang keluar dari bibirnya, pertanda bahwa ia menyerah pada situasi yang jelas tidak memihak padanya.
"Baiklah," gumam Ann akhirnya, nadanya pasrah meskipun wajahnya menunjukkan perlawanan yang sia-sia. Ia bangkit dari tempat duduknya dengan ragu-ragu, langkahnya kecil-kecil seperti ingin memperlambat waktu.
Ketika akhirnya sampai di depan Max, ia menatapnya dengan mata penuh peringatan. "Kalau kau macam-macam, aku tidak akan—"
Namun, sebelum ancamannya selesai, Max sudah menarik tangannya perlahan, membuat tubuh Ann kehilangan keseimbangan dan jatuh langsung ke pangkuannya.
Ann terkesiap, tetapi sebelum ia sempat melawan, tangan Max sudah melingkari pinggangnya, menahannya erat seolah memastikan bahwa ia tidak bisa kabur.
"Max!" protes Ann dengan nada tertahan, tubuhnya kaku di tempat. "Ini... tidak pantas! Bagaimana jika seseorang masuk?"
Max tertawa kecil, ekspresinya seolah mengejek kekhawatiran Ann. "Pintu sudah kukunci," jawabnya santai, seperti itu adalah hal paling wajar di dunia. "Dan kau terlalu sibuk untuk menyadarinya."
Ann ingin menjawab, tapi tatapan Max seolah membuatnya lupa apa yang ingin ia katakan sebelumnya.
"Berhenti membandingkan dirimu dengan orang lain, Ann," ujar Max, nadanya lembut, tetapi setiap kata diucapkan dengan tegas.
Ann terkejut mendengar kalimat itu, tetapi sebelum ia sempat merespons, Max menundukkan wajahnya, mendekat hingga napas hangatnya menyapu kulit Ann.
Bibirnya menyentuh bibir Ann dengan lembut, awalnya hanya sekilas, tetapi cukup untuk membuat Ann mematung di tempat.
Ciuman itu kemudian semakin dalam, Max melumat bibir Ann dengan gerakan lambat yang penuh kendali. Tangan Ann, yang awalnya ingin mendorong dada Max, kini justru beralih memegangi kerah kemejanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Die Into You
Romance"Aku sudah menjadi pria yang baik. Mengapa kau tidak membiarkanku menjadi priamu, Ann?" Max merengek putus asa. rate : mature © all pics from : pinterest FOLLOW SEBELUM MEMBACA, YA!!!