03. "Kenangan yang tak terlupakan"

147 92 75
                                    

Sudah lama aku tidak melihat
wajahmu, bahkan aku sudah
mulai lupa dengan suara mu,
tapi entah kenapa
hatiku masih menyimpan
namamu.

"Mui, ke mana pemuda yang dulu sering kamu bawa pulang?"
Belum sempat menapakkan kaki di dalam rumah bercat nude itu, Muhi sudah dicecar pertanyaan yang justru paling ingin ia hindari—terutama dari mulut ibunya sendiri.

"Dalem, Bu? Maksud Ibu, Riski? Kan Mui sering bilang, Riski itu perempuan, Bu... sama kayak Mui, cuma rambutnya aja yang pendek." jawab Muhi pelan, berusaha menjaga nada suaranya tetap lembut.

"Bukan Riski, Mui. Tapi yang dulu, loh... yang suka jemput kamu waktu kamu masih sekolah. Yang rambutnya selalu rapi itu? Yang manggil Ibu ‘Ibu’ juga, ingat nggak?" Kali ini, Lastri—Ibu Muhi—mulai menjelaskan lebih rinci. Muhi diam. Ia tahu persis siapa yang dimaksud. Tapi nama itu, wajah itu, kenangan itu... terlalu sakit untuk disentuh kembali.

"Maaf, Bu… Mui lupa," ucap Muhi sambil terkekeh pelan—sebuah tawa yang terdengar rapuh, nyaris seperti retakan halus di antara batu sunyi. Ada getir yang menyelinap di balik nada suaranya, luka yang belum benar-benar pulih.

"Padahal Ibu kangen Mui, sama dia, dia itu pemuda yang baik," tutur Lastri lirih, penuh kenangan. Namun pujian itu hanya dibalas Muhi dengan senyuman tipis—senyum yang lebih mirip perban daripada ekspresi bahagia.

"Kamu ganti baju dulu, ya, Mui. Habis itu makan." Lastri menepuk lembut ubun-ubun putrinya, lalu berbalik menuju dapur, membiarkan aroma masakan menggantikan jejak keheningan.

Muhi melangkah pelan menaiki tangga, seperti meniti kenangan yang beratnya berlipat. Setibanya di kamar—ruang kecil yang diam-diam menyimpan begitu banyak air mata—ia menutup pintu, dan mendung di matanya akhirnya tumpah jadi hujan.

Tangisnya pecah, tak terbendung lagi. Derai demi derai air mata mengalir deras, membasahi pipi yang telah lama pura-pura kuat. Sesak memenuhi dadanya, menyesakkan ruang yang sudah lama dihuni oleh luka.

Betapa mudahnya pemuda itu merebut hati kedua orang tuanya—begitu manis, begitu sopan—lalu pergi tanpa sisa, meninggalkan Muhi pada puing-puing yang harus ia susun sendirian. Sudah tiga tahun... dan tetap saja, bayangan itu belum hilang. Cinta tak lagi terasa aman. Dan kata “percaya” kini terasa seperti benda asing yang dingin dan tajam di dalam dadanya.

Muhi tak sanggup berkata pada siapapun, bahwa justru pemuda itulah alasan mengapa hatinya tak pernah berani mencinta lagi. Kecewa dan trauma masih terpatri di sana—jelas, utuh, belum luntur.


Kini kakinya melangkah kearah lain, mencoba mencari ketenangan dengan mencuci wajah lalu bercermin untuk menenangkan diri namun yang ia lihat hanyalah tubuh kurus acak-acakan. Kemudian ia memilih untuk membaringkan tubuhnya, dengan isak tangis yang tak berhenti perlahan ia meraba sekitar kasur untuk mencari ponselnya lalu membuka sebuah platform untuk sekedar menulis puisi.

Siang itu datang dengan cahaya yang temaram, seperti matahari pun enggan bersinar terlalu terang. Udara terasa hangat, tapi tidak menenangkan—sebaliknya, seperti menyimpan kegelisahan yang menggantung di langit, menyusup perlahan ke dalam dada. Muhi melangkah pelan di sisi Riski, membiarkan suara langkah mereka yang saling beriring menjadi satu-satunya musik di tengah keheningan.

Hari itu, ia tidak berniat pergi jauh. Hanya berjalan, hanya bernapas lebih dalam dari biasanya, hanya ingin merasa sedikit lebih ringan. Tapi Muhi tahu, seberapapun ia berjalan, kenangan tetap menempel seperti bayangan, dan luka tetap bersembunyi di balik setiap senyum yang dipaksakan.

Badai Kepulangan.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang