17
"Mengapa kau mencari gara-gara?" Ilayda menatap Asia dengan ekspresi menahan amarah dan mencecarnya dengan pertanyaan yang sudah jelas jawabannya apa.
"Lady kurang ajar itu yang lebih dulu menghina kalian. Jika aku tidak segera membalas mereka, maka entah kata-kata apa yang akan dia keluarkan untuk menghinaku juga." Asia berdecak sebal. "Pelayan itu mengataiku tak punya sopan santun, tetapi tak memperingatkan kepada Lady mereka yang jauh lebih tak punya sopan santun."
Ilayda menghela napas panjang. Tampak lelah di wajahnya. Hiya hanya berdiri bersandar di dinding bangunan sepi sambil terus menunduk dan mengunyah rotinya pelan-pelan.
"Lihatlah Hiya. Dia pasti terguncang karena mendapatkan hinaan dari Lady itu," kata Asia.
"Jika kau tak sengaja melihat Lady Edmonia lagi, segeralah menjauh."
"Kau sepertinya mengenal Lady itu dengan baik."
"Lupakan pembicaraan kali ini." Ilayda tampak tak nyaman. Semakin memperkuat dugaan Asia bahwa Ilayda dan Lady Edmonia memiliki hubungan dekat.
Rambut pirang dan bermata hazel. Bukankah begitu mirip? Meskipun garis wajah tak sama, apa mungkin mereka sepupu atau justru ... saudara?
Ini semakin menarik. Namun, Asia tak bisa mengulik lebih dalam. Ilayda terlihat tak nyaman sejak kemunculan Lady Edmonia.
"Tunggulah di sini. Aku akan membelikan minuman untuk kalian berdua." Asia segera berbalik untuk pergi ke penjual minuman yang paling dekat.
Waktu pagi perlahan mulai berganti ke siang, tetapi para pengunjung festival justru semakin padat. Matahari memang tidak terik dan menyengat kulit. Mungkin karena itu juga para pengunjung festival betah berlama-lama dan menikmati suasana.
Terkadang para pedagang berjejeran menjual dagangan yang sama sampai Asia tak enak jika harus membeli salah satu dari dagangan mereka. Asia semakin jauh dari lokasi Ilayda dan Hiya. Beberapa badut yang berjalan di atas kayu tinggi di dekat air mancur. Mereka mengelilingi kolam air mancur sembari memainkan bola yang memutar tanpa henti di tangan mereka.
"N—nona!" Seorang lelaki belasan tahun dengan seragam akademinya tiba-tiba muncul di hadapan Asia dengan senyum malu. Dia membungkuk seperti seorang bangsawan dan mengarahkan tangannya pada Asia. "Bolehkah saya memperkenalkan diri saya, Nona?"
"Tidak," balas Asia tanpa ragu.
Lelaki itu sempat mematung, lalu berdiri tegak dengan senyuman tipis. "Apakah Anda salah satu murid akademi juga? Sejak tadi saya memperhatikan Anda. Anda dari jurusan apa?"
"Aku bukan murid akademi," balas Asia sembari melirik pedagang minuman yang tak jauh darinya, tetapi lelaki di hadapannya berusaha keras untuk mengajaknya bicara.
"Sejak tadi saya memperhatikan Anda. Maaf bersikap lancang, Nona, tapi Anda adalah tipe ideal saya." Lelaki itu bersikap sopan, menunduk sedikit dan menaruh tangan kanannya di dada kiri. "Perkenalkan, nama saya Callister."
Asia menatap wajah tampan di depannya itu. Rambutnya berwarna merah dengan iris mata ungu yang tak pernah Asia temui di dunia asalnya. Yah, lumayan, tetapi Asia tidak tertarik dengan bocah. Umurnya mungkin lebih tua satu atau dua tahun dari Hiya. Lapula Asia tak tertarik untuk menjalin hubungan dengan siapa pun.
"Maaf, Tuan. Saya sudah memiliki kekasih." Adalah jurus ampuh untuk mengusir para lelaki yang berusaha mendekati Asia selama ini.
Callister tampak kecewa. Asia segera memasang tudung jubah di kepalanya, lalu segera pergi sebelum memberi kesempatan lelaki itu untuk bicara lagi. Asia paling tidak nyaman dengan lelaki yang mendekat dengan agresif, meski lelaki tadi tidak separah lelaki di dunia asli Asia. Lelaki yang mendekati Asia selama ini pasti masih belasan tahun. Wajahnya semuda itu untuk didekati laki-laki dewasa. Beberapa kali Asia hampir ditolak bekerja di sebuah tempat karena katanya dia terlihat seperti remaja. Mereka tak akan percaya bahwa Asia berusia lebih dari dua puluh tahun sampai melihat tanda pengenalnya.
Padahal seingat Asia, Ibu lebih tinggi dari wanita lain saat berdampingan dengan Ibu. Apakah Asia kekurangan gizi hingga tumbuh seperti ini? Atau ayah kandungnya yang sudah lama menjadi mendiang itu bertubuh pendek?
"Aku ingin membeli tiga jus buah." Asia menunjuk apel, anggur, dan juga jeruk. "Ini, ini, dan ini. Terima kasih."
"Tunggu, ya, Nona. Totalnya tiga koin perak."
Mahal..., tak berbeda jauh dengan pedagang lain. Seperti kata Ilayda, harga dagangan akan naik dua kali lipat di acara besar seperti ini.
Pedagang wanita berumur kira-kira empat puluhan tahun itu mulai membuat jus buah dengan cepat dan cekatan. Asia tak menunggu waktu lama. Dia mengeluarkan tiga koin perak di atas sebuah wadah, lalu menerima tiga gelas jus buah tersebut dari tangan pedagang.
"Terima kasih, Nyonya." Asia menunduk pelan, lalu membawa tiga gelas tersebut dengan cara memeluknya. Ketika di pertengahan jalan sekelompok murid akademi—yang tak lain adalah Lady Edmonia, teman-temannya, dan dua pelayan berseragam putih hitam—mendekatinya. Mereka terlihat marah. Terutama Lady Edmonia yang meski setengah wajahnya tertutupi oleh kipas berbulu angsa, matanya tetap menunjukkan kemarahan.
Dua temannya mendekat dan menarik lengan Asia hingga Asia tak bisa memegang dengan baik ketiga gelas jus tersebut yang berakhir jatuh di atas jalan. Asia tak bisa melawan dua gadis yang menariknya paksa ke sebuah gang sempit. Lady Edmonia bersama yang lain menyusul di belakangnya.
Kedua gadis itu mendorong Asia hingga terjatuh di atas tanah, membuatnya berlutut di hadapan Lady Edmonia secara tak sengaja.
"Rakyat jelata sepertimu harusnya tahu diri dan tempat." Salah satu teman Lady Edmonia menatap sinis Asia sembari bersedekap.
"Apa...?"
Lady Edmonia berbicara, menutupi mulutnya dengan kipas berbulu. "Aku membiarkanmu atas kelancanganmu sebelumnya, tetapi kali ini tidak. Beraninya kau mendekati Lord Callister-ku?"
Hah?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lord is a Tyrant
FantasyAnastasia Hyacinth terjebak di dimensi lain dan memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menjadi penulis fiksi pertama di dunia itu, terutama di Kekaisaran Carlos. Dia bersembunyi di balik nama weivterces, kebalikan dari nama penanya di dunia aslinya...