"Itu bagian dari perjalanan, kan? Kita harus menerima rasa yang pahit untuk menghargai yang manis. Kalau kita bisa melakukannya dengan humor, hidup mungkin jadi lebih ringan."
-Mahendra Hardhika-
Sejak hari itu, pertemuan Mahendra dan Anvitha di rumah sakit jiwa menjadi rutinitas yang dinantikan.
Mahendra tidak hanya membawa kanvas dan cat, tetapi juga lelucon dan cerita-cerita konyol yang selalu membuat Anvitha tertawa.Dia bahkan mulai membawa camilan kecil, berharap dapat mencuri senyum Anvitha di setiap kesempatan.
Suatu sore, saat mereka duduk di taman, Mahendra mengeluarkan sepotong kue cokelat dari tasnya.
"Tada! Kue ini hasil curian dari dapur rumah sakit. Harusnya kau tahu, aku sudah berlatih mencuri kue sejak kecil!" dia memperlihatkan kue itu seolah-olah itu adalah trofi juara.
Anvitha tertawa, mengambil sepotong kue. "Jadi, kau seorang pencuri kue? Sepertinya itu keahlian yang sangat berguna. Bolehkah aku menyewa jasamu untuk mencuri makanan di pesta?"
"Dengan senang hati! Aku bisa jadi ahli dalam 'mencuri makanan sambil tersenyum'! Tapi ingat, aku tidak bertanggung jawab kalau pesta itu berakhir dengan keamanan yang mengejarku!" jawab Mahendra sambil berusaha meniru gerakan ninja yang konyol.
"Sepertinya, pekerjaan itu sangat cocok untukmu. Banyak seniman membutuhkan asisten pencuri," Anvitha menimpali dengan nada jenaka, sambil mengunyah kue.
"Benar sekali! Aku bahkan bisa menyamar jadi berbagai karakter," Mahendra menambahkan sambil memasang ekspresi serius. "Hari ini aku adalah Mahendra si Pencuri Kue, besok aku mungkin jadi Mahendra si Penyelundup Pisang Goreng. Sungguh, bakatku tak terbatas!"
Anvitha tertawa hingga hampir terjatuh dari bangkunya. "Penyelundup pisang goreng? Apa itu keahlian khusus?"
"Tentu saja! Aku pernah menyelundupkan pisang goreng ke bioskop! Kau tahu, agar lebih seru saat nonton film horor," kata Mahendra sambil menirukan suara hantu, "Tiba-tiba, hantu muncul dan 'Huaaa!' - Aku langsung gigit pisang gorengku!"
Anvitha tertawa terbahak-bahak, tak bisa berhenti. Mahendra melanjutkan, "Dan bukan hanya itu, aku juga ahli dalam menyelundupkan tahu isi ke pertemuan formal. Bayangkan, semua orang sibuk diskusi serius, dan tiba-tiba aku, 'Permisi, siapa yang mau tahu isi?'"
Anvitha tertawa lagi, hampir terjatuh dari bangkunya. "Kamu benar-benar konyol, Mahendra."
Saat mereka tertawa dan menikmati camilan, Mahendra merasa ada kehangatan yang tumbuh di antara mereka. "Anvitha, gimana kalau kita membuat proyek seni baru? Kita bisa bikin mural untuk dinding rumah sakit ini. Mungkin dengan tema 'Cinta dan Kecemasan'?"
Anvitha terdiam sejenak, berpikir. "Mural? Itu ide yang menarik. Tapi... apakah kita akan menggunakan warna-warna cerah atau warna gelap yang mengekspresikan kecemasan?"
"Kenapa tidak keduanya? Kita bisa gambar senyum di satu sisi dan raut wajah bingung di sisi lainnya! Seperti perjalanan hidup kita," Mahendra menjawab, bersemangat. "Kita bisa menambahkan slogan: 'Terkadang kita bahagia, terkadang kita hanya bingung!'"
"Ini bisa jadi karya seni yang sangat dalam. Siapa tahu, mungkin kita bisa memenangkan penghargaan untuk 'Mural Terbaik dengan Humor Ganda'," Anvitha menjawab sambil tersenyum.
Dengan semangat baru, mereka berdua mulai merencanakan mural itu. Setiap kali mereka bertemu, ide-ide baru muncul, dan mereka mulai menggambar sketsa untuk mural yang akan menghiasi dinding rumah sakit. Proses itu membawa mereka lebih dekat, memperkuat ikatan antara mereka.
Namun, di balik semua tawa dan kreativitas, Mahendra merasakan sesuatu yang lebih dalam. Dia melihat bagaimana Anvitha, dengan semua keceriaannya, masih menyimpan luka yang dalam.
Ada saat-saat ketika dia terdiam, tatapannya kosong, dan Mahendra tahu bahwa ada cerita yang belum diceritakan.
Suatu hari, setelah mereka selesai menggambar sketsa, Mahendra memberanikan diri untuk bertanya.
"Anvitha, maukah kau bercerita tentang masa lalumu? Aku merasa kau punya kisah yang menarik, dan aku ingin mendengarnya."Anvitha menunduk, menggerakkan kuas di tangannya. "Aku... aku tidak tahu di mana harus mulai. Kadang, rasanya sulit untuk membicarakannya."
Mahendra tersenyum lembut. "Kau bisa memulainya dengan yang paling sederhana. Apa makanan favoritmu? Itu bisa jadi pembuka yang manis sebelum menuju kisah yang lebih berat."
Anvitha mengangkat kepala, terlihat sedikit bingung. "Makanan favoritku? Hmm... aku sangat suka nasi goreng. Itu seperti kehidupan, kadang pedas, kadang manis, tapi selalu mengenyangkan."
"Jadi, kita bisa bilang, hidupmu adalah nasi goreng yang luar biasa! Sekarang, semua yang perlu kau lakukan adalah menambahkan kerupuk dan sambal!" balas Mahendra, berusaha menghibur sambil mengangkat tangan seolah mengacungkan trofi.
Anvitha tertawa, namun tatapan matanya kembali sendu. "Mungkin... nasi gorengku ini tidak selalu enak. Terkadang, ada rasa yang tidak diinginkan yang menyertai."
Mahendra mengangguk, merasakan berat di dalam hati. "Itu bagian dari perjalanan, kan? Kita harus menerima rasa yang pahit untuk menghargai yang manis. Kalau kita bisa melakukannya dengan humor, hidup mungkin jadi lebih ringan."
Dia menyadari bahwa dalam setiap candaan yang dilontarkan, ada kedalaman yang membuatnya semakin terhubung dengan Anvitha. "Dan kalau kita bicara tentang rasa yang pahit, ingatlah, kita bisa menggambarnya di mural kita! Dengan sambal yang meluap dan kerupuk yang pecah!"
Anvitha mengangguk, tersenyum sedikit. "Mungkin, ini bisa jadi cara untuk mengekspresikan semua itu. Dan kau benar, kadang kita butuh sambal ekstra untuk menghadapi kenyataan."
Setelah momen hening itu, Anvitha terlihat lebih terbuka. Mahendra merasa senang karena dia bisa menjadi bagian dari perjalanan penyembuhan Anvitha.
Mereka melanjutkan menggambar, menggambar sambal di mural dengan penuh warna, seolah-olah setiap goresan adalah simbol harapan.
.
.
.
.
.
HALOOOO, UDAH PART 3 NIIII, KAYANYA UNTUK PART SELANJUTNYA BAKAL BANYAK HUMOR NYAA, maaf yaaaa kalo humornya receh, aku udah lama ga nulis jadinya sedikit kaku buat mikirin alur cerita hehehe
KAMU SEDANG MEMBACA
Anvindra (Ft.Mark NCT) (COMPLETED✅)
RomansaKota yang penuh hiruk pikuk dan ambisi, menjadi saksi pertemuan dua jiwa yang terluka. Mahendra Hardhika, seorang karyawan swasta yang merantau ke ibu kota, tak pernah menyangka bahwa kunjungannya ke rumah sakit jiwa untuk menemui temannya, Dr. Ria...