"Ini lukisan tentang perjalanan hidup. Hitam melambangkan semua rasa sakit, sementara warna-warni ini adalah harapan dan kebahagiaan yang ingin kita capai."
-Mahendra Hardhika-
Malam itu, setelah menghabiskan waktu di taman, Anvitha dan Mahendra berjalan kembali ke apartemennya.
Suasana di luar tenang, tetapi hati Anvitha masih bergejolak. Ia berusaha keras untuk melupakan kilas balik yang menghantuinya, tetapi bayangan malam itu terus terbayang dalam pikirannya.
"Aku tidak tahu kalau ada taman yang seindah ini dekat apartemenmu," Mahendra mengungkapkan, berusaha mencairkan suasana. "Bisa jadi tempat lari kita dari semua masalah. Mungkin kita bisa buka kafe di sini? Dengan menu spesial 'Minuman Kesedihan' dan 'kue kekecewaan'," candanya.
Anvitha tertawa kecil, merasakan beban di hatinya sedikit berkurang. "Kedengarannya sangat tidak laku," balasnya sambil tersenyum. "Tapi aku suka ide itu. Kita bisa beri nama satu kue 'Cinta yang Terluka'. Yang terpenting, kita bisa tambahkan topping harapan di atasnya!"
Mahendra tertawa, merasakan kehangatan dalam suasana malam itu. "Ya, dan kita bisa mengiklankan dengan slogan ‘Makan Kue, Lupakan Rasa Sakit!'"
Mereka berdua tertawa, menghilangkan sebagian ketegangan yang ada. Namun, saat mereka sampai di depan apartemen Anvitha, senyuman Anvitha perlahan memudar. Kenangan buruknya kembali menghantuinya, dan dia merasa gelisah.
"Aku…," Anvitha mulai berbicara, tetapi suaranya terputus. Rasa takut kembali merayap di jiwanya, dan dia bisa merasakan keringat dingin di dahinya.
"Anvitha?"Mahendra menatapnya, khawatir. "Apa kau baik-baik saja?"
Dia menggigit bibirnya, berusaha mengendalikan diri, tetapi tidak ada yang bisa dia lakukan. "Aku tidak tahu, Mahen. Aku merasa… aku merasa terjebak lagi." Suaranya bergetar, dan matanya mulai berkaca-kaca.
"Tidak!" Mahendra berkata dengan tegas, menggenggam tangannya lebih erat. "Ingat, aku di sini untukmu. Kita bisa melawan ini bersama-sama."
Ketika Anvitha menatap matanya, dia melihat ketulusan yang dalam. Tetapi rasa panik mulai membanjiri pikirannya, mengingatkan dia pada malam saat orang tuanya bertengkar.
Suara keras dan gambar-gambar menakutkan itu datang kembali, dan dia merasa dunia di sekelilingnya mulai berputar.
"Mahen…" dia berbisik, "Aku tidak bisa mengatasi ini sendirian."
Mahendra, merasakan ketidaknyamanan yang dirasakan Anvitha, membawanya masuk ke dalam apartemen. "Oke, kita akan melawan ini. Mari kita duduk dan berbicara. Atau mungkin kita bisa melukis? Kau tahu, seni bisa menjadi terapi yang bagus."
Di ruang tamu, Anvitha berusaha fokus pada kata-kata Mahendra. "Aku sudah mulai melukis lagi," katanya, sedikit berusaha berterus terang. "Tapi kadang-kadang, aku merasa seperti semua warna itu tidak bisa menggambarkan perasaanku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Anvindra (Ft.Mark NCT) (COMPLETED✅)
RomansaKota yang penuh hiruk pikuk dan ambisi, menjadi saksi pertemuan dua jiwa yang terluka. Mahendra Hardhika, seorang karyawan swasta yang merantau ke ibu kota, tak pernah menyangka bahwa kunjungannya ke rumah sakit jiwa untuk menemui temannya, Dr. Ria...