Menjadi Mama | Part 6 | Bantuan Papa

1.1K 8 0
                                    

Dengan segala persiapan yang sudah siap, kami membawa nampan berisi makanan dan minuman ke ruang tamu. Kami duduk di sofa yang nyaman, menyusun makanan dan minuman di meja kecil di depan kami. Popcorn diletakkan di tengah meja, dengan kaleng-kaleng soda dan botol air mineral di sekitarnya. Semuanya tampak siap untuk malam yang seru.

Papa mengambil remote dan mengatur channel televisi, memastikan kami tidak melewatkan momen apa pun dari pertandingan besar ini. Layar televisi menampilkan sorotan sebelum pertandingan, membangun ketegangan dan antisipasi. Kami duduk berdampingan, bersandar di sofa dengan pandangan penuh harap. Aku bisa merasakan kegembiraan dan semangat Papa yang menular. Kami sama-sama antusias, berteriak dan bersorak setiap kali ada momen seru di lapangan.

Selama pertandingan, aku sesekali merapikan jersey-ku, merasa sedikit sadar diri karena tidak mengenakan bra. Namun, kegembiraan dan fokus pada pertandingan membuatku bisa melupakan rasa canggung itu. Kami benar-benar menikmati momen-momen menegangkan dan gembira bersama, tertawa, berteriak, dan kadang-kadang merasa tegang ketika pertandingan semakin mendekati akhir.

Final Liga Champions ini menjadi malam yang sangat berkesan. Tidak hanya karena Real Madrid berhasil menunjukkan performa terbaik mereka, tetapi juga karena kebersamaan dan ikatan yang kuat antara aku dan Papa. Setiap sorakan dan dukungan kami untuk tim kebanggaan terasa begitu istimewa dan menghangatkan hati.

Di tengah pertandingan, tiba-tiba aku merasakan berat dan perih di payudaraku. Aku baru teringat apa yang Mama ajarkan tentang cara menangani rasa penuh karena ASI. Rasanya sudah tak tertahankan, dan tanpa basa-basi, aku langsung mengangkat jerseyku ke atas, membiarkan payudaraku terekspos, dan mulai memijatnya.

Papa yang duduk di sebelahku langsung terbelalak matanya, yang tadinya fokus ke TV, kini beralih memandangiku. Keterkejutan di wajahnya terlihat jelas, namun dia berusaha tetap tenang.

"Dimas, kamu kenapa?" tanyanya dengan suara penuh kekhawatiran.

Aku merasakan pipiku memerah, tapi rasa sakit di payudaraku terlalu kuat untuk diabaikan. "Aku harus memijat payudaraku, Pa. Rasanya penuh dan sakit," jawabku cepat, berusaha mengingat langkah-langkah yang diajarkan Mama.

Papa mengalihkan pandangannya sejenak dari televisi, memperhatikan dengan khawatir. "Mau Papa panggil Mama?" tawarnya, masih terlihat cemas.

Aku menggeleng sambil mulai memijat payudaraku dengan hati-hati, mencoba mengikuti arahan Mama. "Nggak, Pa. Aku bisa sendiri. Mama udah ajarin caranya," kataku, meskipun rasa malu bercampur dengan ketidaknyamanan.

Papa mengangguk, mencoba tetap tenang meskipun jelas ia masih khawatir. "Oke, kalau kamu bilang begitu. Tapi kalau butuh sesuatu, bilang saja ya," katanya, berusaha kembali fokus ke TV meskipun tatapan sesekali masih melirik ke arahku.

Aku terus memijat payudaraku, merasakan susu perlahan keluar sedikit demi sedikit. Setiap pijatan mengurangi rasa sakit, tetapi hanya sedikit susu yang keluar, tidak cukup untuk meredakan ketidaknyamanan sepenuhnya. Rasa sakit masih terasa, dan aku mulai merasa putus asa.

Papa yang duduk di sebelahku melihat gelagat kegelisahanku. "Kamu kenapa lagi, Dimas?" tanya Papa dengan nada penuh kekhawatiran, matanya tak lagi fokus pada pertandingan.

"Payudaraku masih sakit, Pa. Susu yang keluar sedikit banget," jawabku, berusaha menahan rasa sakit yang semakin mengganggu.

Papa tampak berpikir sejenak, lalu bertanya dengan hati-hati, "Mau Papa bantu?"


Baca selengkapnya di https://karyakarsa.com/auliashara atau klik link di bio. 

Menjadi MamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang