"Hobby banget kesandung sih ni orang, heran!"Ucap pria yang menbantunya berdiri dengan wajah yang tidak ramah.
Dinda melihat sosok pria di belakangnya, sedikit merasa tenang sekaligus kesal dengan kalimatnya.
"Kalau ga niat bantu mending pergi ajalah... gue bisa sendiri!!!" Jawab Dinda sambil melepaskan tangan Rendy.Ya, Rendy mendengar suara Dinda terjatuh. Sengaja iya membiarkan gadis itu sendiri dulu, melihat kondisinya yang sulit untuk berdiri, Rendy pun tidak tega membiarkannya ketakutan di tengah kegelapan, perlahan tanpa Dinda sadari Ia berjalan menghampiri gadis itu.
"Yakin bisa sendiri? Yaudah kalo gitu gue pergi" ucap Rendy yang juga masih kesal. Mereka berdua dalam keadaan hati yang kesal satu sama lain.
"Yaudah, sana... sssshhht" ucap Dinda kesal sambil merasa sakit.
"Gengsi lu kegedean!!" Ucap Rendy yang bukannya pergi malah berjongkok dan menepuk pundaknya sendiri menawarkan untuk menggendong Dinda dipunggungnya.
"Ngapain si? Dibilang pergi aja!"
"Buat yang terakhir kali, kalo lu nolak lagi, gue beneran pergi. Ga peduli lu mau dikejar apa kek..." jawab Rendy.
Dinda berpikir cukup lama. Ia merasa takut tapi juga gengsinya cukup besar. Namun rasa takut itu mengalahkannya.
"I-iya yaudah" akhirnya Dinda naik ke punggung Rendy yang kekar itu, tangannya melingkar di leher pria yang akhir-akhir ini selalu ada dalam harinya. Diperjalanan hanya ada suara nafas mereka.
Rendy sama sekali tidak merasa keberatan, entah Kenapa Ia selalu merasa senang bertemu dengan Dinda. Padahal awal pertemuan mereka tidak baik. Nafas Dinda terus berhembus di dekat lehernya. Lama-lama kepala gadis ini terasa menyentuh bahunya. Tangannya mulai merasa pegal dan rasanya badan Dinda semakin berat.
"Din.. bentar lagi sampe nih. Lu bisa jalan ga?"
Namun tidak ada jawaban sama sekali...
"Din... dinda..." saat Ia melihat, ternyata Dinda tertidur dalam gendongannya.
"Anjir ini orang malah tidur... pegel juga gue... dikira ga berat apa ya" gumannya pelan.
"Apa? Gue berat yaudah berenti" ucap Dinda yang terbangun.
"Iya berhenti, nih depan rumah lu udah sampe!" Rendy menurunkan Dinda perlahan dan menuntunya ke depan pintu. Rumahnya terlihat sepi. Sepertinya Ibu sudah tidur, dan ka Rio tidakada di rumah."Makasi ya, maaf aku marah ga jelas terus, sampe-sampe mesti manggil lu gue, padahal kita ga sedeket itu" ucap Dinda sambil menundukkan kepala di depan Rendy.
Rendy menghela nafas..."Hem... santai... aku pulang"
Ucap Rendy sambil berlalu. Terlihat wajahnya kesal namun, tangan Dinda menahannya."Ren, Yoga ngasih tau kalau kemaren dia ketemu Ayahku di kota... jangan berpikir yang engga-engga ya" ucap Dinda menenangkan. Rendy merasa sedikit tenang dan cemburunya berkurang.
Mereka berdua merasa bingung dengan perasaan yang ada. Karena mereka tidak ada hubungan apa-apa. Tapi kenapa harus saling cemburu?"Baik, istirahat... sudah malam... PR kita masih banyak, jadi besok harus sudah sembuh"
Dinda hanya mengangguk, memang cara Rendy menberikan perhatian berbeda dengan yang lain. Sikapnya dingin, namun begitu sangat melindunginya.
Rendy berlalu dan perlahan menghilang dari pandangannya.***
"Selamat pagi Abangku..." goda Nabil yang melihat Rendy pagi-pagi sudah berada di depan laptop.
"Pagi" jawabnya singkat
"Kenapa si, kusut gitu... ada yang mau dibantuin ga?"
"Kamu mana bisa.."
"Ooh yg bisa cuma Dinda yaaaa" ucap Nabil sambil tersenyum
"Apaan sih... Abang laper, siapin sarapan dong"
"Ooceee"Terdengar suara pintu diketuk. Seperti biasa, dijam yang sama, Dinda selalu mengantar jamu pesanan kerumah Bu Dewi. Dengan semangat Rendy membuka pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Belum mulai
General Fictionsesuatu seringkali usai lebih cepat, padahal kisah dan perjuangannya belum mulai.