Hamparan laut membentang, sepanjang perjalanan hanya terlihat batas lautan tak berujung.
Perahu ini melaju begitu cepat, namun tidak juga terlihat tujuannya.
Dinda, Rendy dan juga Putra berada di ruang yang sama.
Rendy sudah melupakan kekesalan terhadap Dinda dan Putra.
Saat ini tujuan Rendy kembali ke Pulau adalah untuk menyelesaikan semua tugas skripsinya. Setelah itu Ia akan memulai kembali hidupnya di Kota seperti sedia kala.
Rendy memandangi wajah Dinda yang sesekali menyeringai terkena sinar matahari. Wajahnya terlihat bersinar dan memancarkan kecantikan. Putra juga sesekali melihat ekspresi wajah Rendy yang terlihat kagum pada wajah Dinda.
Perlahan Putra menghampiri Rendy yang duduk diseberangnya."Cantik ya?" Tanya Putra
"Hah..emh apa si lu"
"Jadi siapa yang lu pilih?"
"Put, bisa diem ga si lu mulutnya?"
"Yaudah buat gue"
"Yee awas ya lu macem-macem. Gua sentil lu"
"Kan, baru gue pancing udah kena umpan, dasar ikan"
"PUT!!!"Dinda menoleh mendengar suara Rendy yang meninggi
"Kenapa sih? Kalian mau ribut tengah laut?"
"Ehem engga, biasa ini si Rendy katanya mau mancing di laut"
"Yakali di laut lepas begini, nanti aku ajakin mancing sama Pak Min" Dinda menggerakkan alisnya turun naik.Tiba-tiba kapal menabrak ombak dan membuat kapal terombang ambing bergerak ke kanan kiri. Dinda yang berdiri kehilangan keseimbangan dan nyaris terjatuh. Sayangnya tangan Rendy kalah cepat dengan jatuhnya Dinda. Sehingga Dinda benar-benar terjatuh.
"Aawhhsss" Dinda meringis kesakitan karna sikut tangannya terbentur lantai. Tidak berdarah namun cukup sakit
"Din.. lu gapapa?" Tanya Rendy sigap sambil membantu Dinda bangkit.
Dinda hanya menggelengkan kepala, menundukkan kepalanya agar tidak terlihat meneteskan airmata karena menahan rasa sakit."Yaampun, sini aku liat duduk dulu disini" ucap Rendy sambil menuntun Dinda yang masih menangis.
"Jelek lu nangisnya..." Ledek Putra
"Put. ..." Jawab Rendy sambil menatap tajam pada Putra. Dan langsung kembali melihat kondisi tangan Dinda .
"Tumben yang kena bukan kaki, biasanya kesandung yg kena kaki" ucap Rendy tanpa menatap.
Dinda hanya bisa menangis
"Ini memar Din. Gapapa emang sakit sih kena sudut lancip gitu. Tp nanti juga aman ko. Nanti di kompres aja di rumah... Kalo masih sakit gapapa nangis aja. Kalo udah reda, berhenti ya nangisnya" ucap Rendy sambil sesekali meniup luka memarnya.
Perlahan tangis Dinda berhenti.
"Makasi ya. Aman udah ga terlalu nyut-nyutan kaya tadi"
Mereka berdua hanya saling menatap dan tersenyum.****
~Rumah Dinda~
"Buuu.... Aku kangeeen"
Dinda memeluk Ibunya dengan erat."Nak... Ibu juga kangen. Kamu udah sehat nak?"
"Udah Bu, seperti yang ibu lihat sekarang"
"Nak Rendy makasi banyak ya udah jagain putri ibu" ucap Ibu pada Rendy yang sedari tadi berdiri dekat mereka.
"Dengan senang hati Bu, kalau gitu saya dan Putra pamit dulu ya Bu""Baik nak. Nanti mampir lagi ya"
Keesokan harinya, mereka berkunjung kerumah Pak Tio untuk mengundang beliau diacara launching. Pak Tio terlihat tidak seperti biasanya, wajahnya tampak pucat. Namun Ia tetap tersenyum pada mereka.
"Heei kalian kemana saja. Masuk masuk... Baru mampir lagi ya... Uhuk uhuk" suara Pak Tio terdengar serak
"Pak. Bapak lagi sakit? Kebetulan Ibu titip jamu buat bapak... Diminum ya Pak" ucap Dinda sambil menuntut Pak Tio duduk.
"Makasi banyak, ini biasalah batuk-batuk udah umur hehe... Bapak kangen banget dikunjungi sama kalian"
"Maaf ya Pak, kemarin kami ke kota. Sekaligus saya ingin memberi kabar baik bahwa bulan depan saya sidang pak..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Belum mulai
Ficción Generalsesuatu seringkali usai lebih cepat, padahal kisah dan perjuangannya belum mulai.