Semua mulai terbuka

31 7 0
                                    

Suara pintu gerbang terbuka dengan disambut oleh satpam di rumah yang cukup megah itu.
Rumah dengan dominasi warna cream dan coklat yang begitu terlihat nyaman dan hangat.
Rendy turun dari mobil dan membukakan pintu untuk Dinda. Ia juga membantu gadis itu berdiri dan berjalan. Diana membawa barang-barang dari rumah sakit.

"Pak tolong parkirin ya" pinta Rendy lembut pada pak satpam.
"Siap den" jawab pak Satpam

"Ayo aku bantu, pelan pelan ya" ucap Rendy yang di ikuti dengan anggukan Dinda.
Dinda merasa kagum melihat rumah yang cukup besar dan mewah dibanding rumahnya.
Ia merasa sangat canggung dan sungkan untuk masuk.
"Din, nanti kamu tidur di kamar aku ya. Ga usah malu-malu..." ucap Diana
"Maaf ya aku ngerepotin kalian jadinya"
Ucap Dinda.

"Udah duduk disini, abis makan siang baru nanti ke atas ya" ucap Rendy.

Dinda duduk disebuah ruang keluarga yang dominan warna abu-abu, dengan layar televisi yang cukup lebar, dan sofa yang sangat nyaman.
Ia merasa takut salah dalam bersikap.
Namun, untungnya sikap Diana selalu bisa mencairkan suasana.
Hari demi hari dilalui Dinda di rumah itu. Perlahan tubuhnya mulai pulih benar.
Sesekali Putra datang ke rumah Rendy untuk bermain dan membantu menyelesaikan skripsi yang belum rampung.
Diana selalu senang dengan kehadiran Putra di rumahnya. Namun, Putra selalu saja bersikap dingin dan biasa saja pada Diana.
Hari itu, Dinda merasa ingin pergi jalan-jalan keliling kota untuk sekedar melihat suasana baru. Ia mencoba pamit pada Rendy yang sedang fokus mengerjakan skripsi di kamarnya.

Tok tok tok...
"Rendy"
"Iya Din, buka aja pintunya"
Dinda membuka pintu perlahan, namun tidak masuk kamar
"Ren, aku mau izin ya, mau keluar sebentar"
"Kemana? Sama siapa?"
"Jalan jalan sore ajasih sendirian...."
"Engga!!!"
"Iiih kan bete Ren di rumah mulu"
"Ga sendirian, biar aku anter!"
"Kamu lagi sibuk"
Rendy menutup laptopnya dan langsung menghampiri Dinda di depan kamar.
"Ayo" ucap Rendy datar tapi manis.

Sore itu, pertama kalinya Dinda merasakan naik kendaraan bermotor yang cukup besar. Berkeliling kota yang ternyata semakin sore semakin ramai, beranding terbalik dengan pulau yang semakin sore semakin sepi.
Ia sangat menikmati suasana itu. Senyum lebar tak henti menghiasi wajahnya, sesekali Rendy tersenyum melihat pantulan wajah Dinda di kaca spion.
"Kamu seneng Din?"
"Seneng bangetlah Ren"
"Laper ga? Makan yuk"
"Ayo, ajak aku ke tempat yang ga ada di pulau... hehe"
"Siaaap"

Mereka tiba di sebuah casual Restaurant yang cukup terkenal di kota.
"Wah ini bagus banget, pasti makananny enak"
"Iya dong. Aku sering kesini sama keluarga"
Mereka bercengkrama dan bercanda sambil memasuki ruangan, seketika candaan mereka terhenti ketikaada yang memanggil...

"Rendy!!" Ucap seorang wanita yang terlihat berdiri dari duduknya. Di mejanya ada satu orang anak kecil berusia sekitar 8 tahun, dan juga ada Pria paruh baya.
"Rere"
"Ayah"

Rendy dan Dinda mengucapkan kata secara bersamaan.
"Ayah? Papa, itu siapa ko manggil Ayah"
Ucap anak laki-laki yang duduk tepat didepan Papanya.
Pria tersebut kebingungan, semua memasang wajah penuh pertanyaan,
"B-bukan siapa siapa nak" ucap pria tersebut spontan.

Dinda yang meyakini betul bahwa pria tersebut adalah Ayahnya yang pergi 10 tahun lalu, wajahnya tidak berubah, hanya rambut yang mulai memutih, Harusnya pertemuan itu menjadi kebahagiaan untuknya, namun ternyata, ucapan Ayahnya yang tidak mengakuinya membuat dia kembali hancur.
Tanpa berkata apapun, Ia memilih pergi berlari dari tempat itu. Rendy masih mematung kebingungan, entah Ia harus menjelaskan kepada Rere atau mengejar Dinda.

"Aarggh" Rendy menahan kesal lalu beranjak pergi. Dinda sudah menghilang dari pandangannya.

~POV Dinda~
Aku menyesal tidak mendengarkan kata Ibu dan kakaku. Aku menyesal harus terbaring tak berdaya hanya karna ingin bertemu pria itu.
Kenapa aku harus banyak berharap? Kenapa harus aku yang menanggung sakit?
Aku ingin pulang, Ibu...
Air mataku bukan untuk menangisinya, aku menangis atas prasangkaku yang patah.
Aku harus pulang sekarang, sebelum kapal terakhir pergi. Sebelum mataku yang pandangannya mulai memudar ini menjadi gelap. Aku kuat...

Aku melihat orang-orang berkerumun menaiki kapal, cukup jauh jaraknya dari tempatku berdiri. Aku tidak sanggup lagi berlari, pandanganku berbayang. Tapi aku akan sampai ke kepal sebentar lagi.
"Tunggu... aku mau pulang" teriakku tak terdengar... kapal itu perlahan beranjak meninggalkan dermaga... langkahku terhenti di satu sudut dermaga, tidak dapat ku kejar kapal itu. Aku ingin pulang. Aku hanya bisa terduduk menghadap laut yang dalam. Pikirku bergemuruh rasanya ingin menenggelamkan diri ke lautan itu.
"Adinda Salma..." suara panggilan dari pria yang ku kenal. Ya Rendy menemukan keberadaanku ditengah mentari yang mulai tenggelam. Ia menghampiriku seraya memarahiku.
"Aku bilang jangan pergi kemana pun tanpa aku Salma!!, kamu mau kemana sih? Aku cari kamu ke semua sudut kota!" Suaranya terdengar menekan tanda kekhawatiran. Ia berlutut disampingku. Menyamai posisiku. Aku memberanikan diri melihat wajahnya, Tapi Ia terlihat khawatir sekaligus marah dengan keadaanku.
"Aku mau pulang Rendy" ucapku sambil berlinang air mata.
"Apakah dengan kamu pulang semuanya selesai?"
"Selesai, pasti selesai... aku lepas semua harapanku, tentang hidupku, tentang kamu, tentang Ayahku. Aku kembali, dengan rasa sakitku yang akanku tinggalkan disini"
"Tentang aku?"
"Ya, kamu, Rere, anak kecil itu, dan juga Ayahku... semua tentang kalian akanku tinggalkan"
"Tapi kita belum selesai..."
"Ga ada yang perlu diselesaikan karna memang semuanya belum mulai!!!"
Seketika, kepalaku mulai berat dan pandanganku semakin gelap. Aku tidak tau apa yang terjadi selanjutnya.

~POV RENDY~
Aku penuh tanya dengan semua yang terjadi seketika. Aku memilih untuk mengejar Dinda karena aku sangat khawatir atas keadaannya disini, tempat yang asing baginya. Rere, akan kuceritakan semuanya nanti kepadamu. Kamu pasti akan lebih aman disituasi ini. Ini tentang salah paham antara aku dan kamu. Maafkan aku...
Dinda sama sekali tidak meninggalkan jejak apapun. Aku pergi menelusuri setiap sudut kota berharap gadis itu duduk menepi. Namun hari semakin gelap, Ia tak juga terlihat.
Seketika aku ingat bahwa yang Ia ingin lakukan saat ini pasti pulang. Benar saja, gadis itu terduduk menangisi kapal yang pergi tanpa sempat menunggunya.
Aku mencoba menghampirinya perlahan, mencoba mengajaknya kembali untuk menyelesaikan semuanya. Namun, aku tidak paham betul apa yang Ia ungkapkan saat itu.
Tentu saja semua adalah emosinya yang terpendam. Perlahan aku melihat matanya semakin sembab, Ia menundukkan kepala, dan tubuhnya nyaris jatuh tak sadarkan diri, beruntung tanganku masih sempat menggapai tubuhnya. Aku mengangkat tubuhnya sekuat tenaga, secepat mungkin aku membawanya ke rumahku menggunakan taxi.
Aku rebahkan tubuhnya di sofa, menunggunya sadarkan diri.
"Dinda...." Panggilku sambil sedikit-sedikit berusaha memberikan minyak aroma terapi agar Ia terbangun.
"Dia kenapa bang? Ko bisa pingsan?" Tanya Diana
"Kecapean" jawabku singkat
Akhirnya perlahan matanya terbuka. Wajahnya begitu pucat, suhu tubuhnya kembali panas.
"Dinda, minum dulu ya" ucap Diana.
Aku berusaha sebisa mungkin tidak banyak berbicara, hanya membantunya untuk duduk.
"Pulang... aku mau pulang..." ucapnya kembali sambil menahan tangis.
Aku berusaha menenangkannya, menggenggam tangannya erat.
"Iya... nanti aku antar... sekarang istirahat dulu ya... ini rumah kamu juga..."
Dinda hanya bisa menangis, Diana memeluknya agar lebih tenang.
Maafkan aku Dinda, tak bisa seutuhnya menjagamu di sini.
Dan aku memutuskan beranjak dari rumah setelah semuanya tenang, aku harus menemui kekasihku. Rere... dan juga Ayahnya...

***

Belum mulaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang