I KNOW YOU ARE SCARED

422 50 6
                                    







Ingat ini hanya fiksi, semua muse tidak ada sangkut pautnya dengan tokoh di dunia nyata!



















"Mbak, ini beneran gak pa-pa dianterin gini?" Wanita tua bertanya pada Winka.

"Gak apa, Buk. Arahnya sama ke kantin sekolahan yang mau saya anterin bahan makanan."

Tutur kata santunnya membuat para pekerja di rumah besar ini menyenangi si gadis muda.

Baru kali ini pekerja tua mengambil jasa pengiriman, dirinya sudah tak kuat lagi jika harus berjibaku berdesak- desakan dipasar.

"Seminggu 3 kali aja ya, Mbak. Nanti saya bayar sekalian pas belanjaannya sampe."

Winka mengulum senyum, ia bantu pekerja itu mengangkut belanjaan masuk. Di dapur, diletakannya diatas meja makan, sekilas ia memindai rumah besar itu.

Majikan pemilik rumah keluar dengan setelan kemejanya, tatanan rambutnya klimis, senyumnya manis. Mirip mas- mas Jawa hitam manis yang kerap ia temui ketika pulang ke Jogja bersama sang ibu.

Ia menunduk kecil untuk memberi salam sang tuan rumah, dibalas senyum tak kalah manis untuk gadis berwajah manis.

Asing dengan wajah Winka, mendekatinya yang masih membantu menata belanjaan.

"Siapa?"

Pertanyaan yang entah untuk Winka atau pekerja tua di rumahnya, namun 2 puan berbeda usia serempak menoleh pada si tuan rumah.

Si pekerja mengenalkan si kurir, "Ini mbak Winka, mulai sekarang saya pesen belanjaan lewat dia, Pak Kaindra."

Si pemilik rumah, Kaindra, tersenyum mengulurkan tangan.

"Saya Kaindra Adyatama. Mohon bantuannya ya, Mbak Winka?" Senyum manis merekah untuk Winka.

Menyambut dengan ragu uluran tangan pria di depannya, "Winka."

Melepas jabatan tangan mereka, namun tak segera pergi, Kaindra mengambil dompet dan mengulurkan selembar uang berwarna biru.

"Tip. Biar semangat kerjanya."

Diterimanya pun dengan ragu, "Terima kasih." Menolak pun tak enak.

Tanpa permisi, disebut juga kurang ajar, tangan Kaindra mengacak rambut Winka, yang membuat si empunya rambut terdiam dengan nafas tertahan.

"Saya permisi."

Pamit tuannya membuat si pekerja tua mengusap lengan Winka.

"Rejeki pagi- pagi, Mbak."

Usapan lembut nyatanya tak juga membuat Winka tenang, tubuhnya gemetar kecil setelah sempat menegang.


Trauma Winka memang tak terlihat, tetapi trauma itu begitu mematikan untuk sang penderita.



















Inka memejamkan mata, di pijit pelipisnya.

"Buat apa manggil aku kemari, kalo dari tadi aku malah di diemin kayak gini?"

Kaindra mendengus marah, kakinya menyilang dengan punggung menyandar santai pada kursi. Inka membuka matanya lalu memberikan death glare. Kaindra mendengus tawa, meraih cangkir berisi kopi yang tadi di sajikan Inka.

Kaindra menyesap isinya,

"Bruh...!" Menyemburkan kopinya.

"Apa- apaan ini?!" Bentak Kaindra, pria itu lantas berdiri dan menatap nyalang pada Inka.

LIMERENCE (WINRINA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang