TRAUMA

227 33 12
                                    








Ingat ini hanya fiksi, semua muse tidak ada sangkut pautnya dengan tokoh di dunia nyata!




















Sepasang pria dan wanita dengan profesi berbeda duduk berhadapan, obrolan penting yang di lontarkan dengan tak serius. Setidaknya untuk wanita dengan setelah hitam serta heels merah favoritnya, terlihat menyala dan menantang, persis seperti karakternya.

Pria baya yang menemani, menggulir macbook meneliti data. Si gila tengah menanti dengan santai melipat kaki, kedua tangannya menangkup secangkir cappuccino. Si angkuh nan gila bersmirk dari balik cangkir yang tengah ia sesap isinya.

"Ada bukti yang bisa saya berikan." Kata Inka pada akhirnya, setelahnya ia meletakan cangkir keatas meja.

"Anda ingin saya menyerahkan surat cerainya terlebih dulu?" Inka mengangguk, "Jika suami Anda menolak, baru Anda akan mengirimkan bukti pemberat ke pengadilan."

"Kalau perlu saya bisa menyeretnya keranah hukum."

Pria yang berprofesi sebagai pengacara itu segera mematikan macbooknya yang kemudian di susul membereskan barang- barangnya.

"Tidak merasa kasihan? Pernikahan Kalian bahkan baru menginjak tahun pertama?" Tentu saja terlontar dengan nada bercanda, tak ingin sampai wanita di depannya ini tersinggung.

"Pernikahan karena perjodohan tanpa rasa cinta, memang apa lagi yang mau di pertahankan?" Tentu saja jawaban sarkas yang keluar dari birai merah merona itu.

Figur pengacara itu mendengus tawa, "Lucu sekali, karena nasib kita sama."

Nyatanya pengakuan dari pria di depannya itu bisa membuatnya terkikik geli, mereka sama- sama merasa geli atas nasib mereka sendiri.

Inka mengalihkan pandangannya di luaran hotel saat mini cooper merah berhenti tak jauh dari area hotel.

Inka menyipitkan mata, ia mengenali dua orang yang berada di kabin mobil itu.

"Fitri?"

Pertanyaan untuk dirinya sendiri terdengar oleh sang pengacara yang tengah menyeruput minumannya, pria itu mengikuti arah pandang Inka. Mengernyit pula pria baya itu, tampaknya ia juga mengenali salah satu dari penumpang mobil merah di depan sana.

"Sekarina?"






















Tangan itu begitu kurang ajarnya merengkuh bahu mungil Winka, berbagai sikap penolakan telah di tunjukan, namun tetap saja sikap melecahkan yang ia dapat.

Kata penolakan di selimuti kesopanan pun telah gadis itu lontarkan, tapi tetap tak membuat pria muda yang begitu kurang ajar menjauh dari Winka. Seolah tak peduli dengan banyaknya pasang mata yang tengah menatap mereka, pria itu menggunakan jabatannya untuk melecehkan Winka dari segi sosial.

Namun pria itu lupa, di atas langit masih ada langit. Langit di atasnya itu penuh dengan badai dan petir yang sangat mengerikan.

Tas yang tak bisa di bilang kecil, dengan isian yang begitu memberatkan, melayang tepat kearah sang pria. Keterkejutan di susul rasa sakit membuat pria itu berteriak dan berbalik, di susul siraman warna hitam pekat pada wajahnya.

"ARGH!"

Ya, Inka baru saja menyiram secup kopi large size ke arah Evan. Belum cukup bagi Inka yang telah melihat Winka di lecehkan, dia menendang tulang kering pria kurang ajar itu. Kaki yang berdenyut nyeri membuatnya membungkuk, tak sampai di situ, seperti mendapat kesempatan kembali, Inka menghantamkan lututnya pada wajah Evan, yang membuatnya terjungkal kebelakang.

LIMERENCE (WINRINA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang