HOUSE WITHOUT DOORS

274 32 16
                                    








Ingat ini hanya fiksi, semua muse tidak ada sangkut pautnya dengan tokoh di dunia nyata!





















Winka itu iri saat melihat gadis yang di kenalnya bernama Fitri, menangis meraung- raung. Dirinya yang hendak pulang setelah menolak tawaran si gila, dibuat termangu menatap gadis itu.

Bebas meluapkan rasa sedihnya, tak malu untuk terlihat lemah, tak peduli pada keadaan sekitar. Winka iri, gadis itu ingin seperti itu, menangis meraung- raung menumpahkan seluruh keluh kesahnya serta kesedihannya.

Tapi tidak bisa, tidak mungkin untuk dirinya yang harus terlihat bahagia untuk ibu yang telah merawatnya. Bahkan disaat dirinya menemukan seseorang yang bisa di jadikan sandaran, hatinya kembali meragu.

Luka lamanya kembali muncul dibarengi kekecewaan yang membelenggu diri. Juga, trauma yang sampai kapan pun tak akan pernah sembuh.

Sumber luka, sumber kecewa, sumber trauma, memeluknya berbarengan. Tak mengijinkan dirinya untuk sekedar bermimpi akan cinta lain.

Candala; rendah, hina, dan nista. Itulah yang Winka rasakan.





















"Nak Karin?" Wanita itu terhenti langkahnya tatkala melihat si angkuh mendekat, "Mau ketemu Winter apa Mimi?" Membuka kembali pagar rumah yang sempat ia tutup.

Memang, kebiasaan Jessa untuk mengunjungi putri kecilnya setiap 2 atau 3 hari sekali. Dan hari ini disaat dirinya hendak kembali pulang, Jessa di pertemukan dengan Inka.

Inka yang di pertemukan dengan Jessa.

Inka terdiam sesaat, timbul rasa gentar dalam diri, ini pertama kalinya.

"Sebenernya mau ketemu Winter."

"Sebenernya?" Tentu saja raut kebingungan tercetak jelas diwajah Jessa dengan perkataan ambigu Inka.

Si gila mengangguk mantap dengan wajah serius.

"Karena bisa ketemu ibuk di sini... bisa kita bicara sebentar?"

Mulut terbuka ingin melayangkan tanya, namun segera dikatup saat menyadari wajah serius Inka. Maka anggukan kaku sebagai jawaban.









Sekarang 2 puan dengan usia berbeda terdiam dikabin mobil Inka, bukan tanpa alasan kenapa suasana menjadi begitu sunyi. Inka, wanita gila itu baru saja membuat Jessa terdiam, si gila dengan berani mengakui perasaannya untuk Winka.

"Nak Karin..." hembusan nafas pertanda bahwa ia juga cemas, "Kamu tau apa yang barusan Kamu katakan, bukan?"

Inka mengangguk, tangannya meremat stir yang sedari tadi ia cengkeram, ia bahkan menghembusan nafas dari mulut. Jujur Inka gugup, dan ini juga pertama kali untuknya.

Jessa turut menghembuskan nafas, "Apa Winter tau?"

Inka mengangguk.

"Apa Winter..." cepat- cepat Inka memotong perkataan itu dengan gelengan.

Kembali Jessa menghela nafas, "Ibu gak bisa nyalahin Kamu, itu perasaanmu, tapi..."

Jessa menoleh pada Inka yang kebetulan juga menoleh pada wanita baya itu, dwinetra mereka bertemu, dapat Inka lihat ada genangan air mata disana. Si gila tahu, ia tahu tidak akan ada orang tua yang akan membiarkan anaknya di cintai dengan cara tak benar.

"Ada hal yang gak Kamu tau, Nak. Tapi ibu tetap yakin bahwa yang di inginkan Winter untuk menjadi pendampingnya kelak adalah seorang pria."

"Tapi bagaimana jika hanya saya yang bisa membahagiakan Winter?"

LIMERENCE (WINRINA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang