SERENDIPITY

448 51 8
                                    







Ingat ini hanya fiksi, semua muse tidak ada sangkut pautnya dengan tokoh di dunia nyata!


















Mobil gagah tipe G-class terparkir apik tak jauh dari toserba yang ia tuju. High heels merah menyalanya satu persatu turun dari mobil, senada dengan warna bibirnya, menantang paginya yang benderang.

Tangan Inka berhenti saat bulu kuduk di leher belakang meremang, mengusap sekilas lantas lanjut mendorong pintu kaca di depannya.

Pertama kali datang, membuatnya harus memutari beberapa rak untuk mencari roti juga kopi kemasan untuk sarapan paginya.

Menyeruput kopinya pun belum tapi dadanya tiba- tiba berdebar kencang, Inka memberengut sebal. Tapi ini... debar yang tak menyakitkan, debar yang menggelitik rongga dada.

"Pak Eka, ini kemarin jumlahnya kurang."

Tangannya yang meraih kopi tersentak, suara bagai lonceng itu tanpa permisi menyelinap masuk kerungu. Matanya perlahan membulat, ia tak salah dengar 'kan?

Itu suara Winka, sumber penasarannya!

Di taruh kembali kopi hitam pekat itu, tubuhnya berbutar, kepalanya tertoleh kekanan kekiri, kakinya tergesa memutari setiap lorong toserba. Rungunya tak salah dengar, intuisinya selalu benar.

Tapi tak ada dimana pun ia susuri dalam gedung ini. Apakah ia salah mengenali pertanda yang coba alam berikan? Bagaimana tadi tiba-tiba saja ia meremang dilanjut dengan degub yang menyenang.

Inka kembali lesu karena tak kunjung bertemu.

Ekor matanya menangkap seorang pria yang masih muda keluar dari dalam yang sepertinya gudang, tak lama gadis kecil berseragam SMA mendekati pria itu.

Tak peduli dan melengos pergi, toh ia tak punya urusan dengan mereka. Inka kembali mengambil apa yang ia butuhkan.

"Hena, ini anterin ke Winni. Bilang, yang merk ini sudah tak ada."

"Baik, Papa."

Rungunya masih menangkap obrolan sepasang ayah dan anak itu, memilih berlalu kearah kasir karena merasa paginya benar-benar buruk.

Tangannya bersiap membuka pintu mobil, tapi lagi-lagi tengkuknya dibuat meremang. Ia menoleh kearah toserba, berharap apa yang ia cari tertangkap netra.

Tapi tak ada, padahal benaknya berulang kali berbisik 'Winka ada disini'.

"Kayaknya gue mulai halu. Apa gue jadi gila beneran?" Monolognya yang lantas memilih benar-benar pergi sekarang.










"Kak Winni." Gadis lebih muda menepuk pundaknya.

Menyodorkan sesuatu yang langsung diterima, "Kata papa, merk yang ini sudah tak ada."

"Kenapa?" Mengamati sesuatu yang ada ditangannya.

"Kata papa, merk yang ini tidak ada yang cari, jadi papa tak mau menjualnya lagi."

"Oke- oke, ntar aku sampein ke kak Julia. Makasih ya, Hena."

Si gadis lebih muda tersenyum lalu memeluk sekilas Winka.

"Semangat kerjanya, Kak Winni!"

Kata penyemangat dari yang lebih muda membuat mereka tertawa. Pagi harinya Winka kali ini begitu menyenangkan.



















"Cemberut teros..." nyinyiran keluar dari birai Agni, melirik kopi dan roti kemasan dari toserba di tangan si angkuh.

Menjejalkan sisa roti kemulut, di teguk habis kopinya hingga pipi penuh menggelembung. Alisnya bertautan dengan wajah sebal begitu ketara. Lift terasa begitu lama, dari lantai 1 ke lantai 5 terasa selamanya. Si gadis berlebihan yang suka melebih-lebihkan menggerutu sebal.

LIMERENCE (WINRINA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang