Dulu, sebelum aku tahu, kupikir sihir adalah sesuatu yang sangat luar biasa. Namun, nyatanya tidak ada yang sempurna di dunia.
Jadi kupaksakan diriku untuk tidak terlalu kecewa karena sihir tidak bisa membuat tubuhku benar-benar pulih seperti sedia kala.
Semua luka luar dan dalam di tubuhku sudah benar-benar sembuh sebenarnya, yang tersisa hanyalah kekuatan fisikku yang telah banyak menyusut akibat terbaring tak sadarkan diri selama empat tahun lamanya.
Untuk mengatasi hal—yang tidak bisa disembuhkan dengan sihir—itu, aku harus menjalani fisioterapi dengan didampingi oleh seorang pria setengah baya yang memperkenalkan dirinya sebagai tabib, dan si perempuan ceroboh yang merupakan dayangku, Elani.
"Apa sudah dimulai?" celetuk seseorang yang baru saja datang.
"Belum, Tuan Duke. Kami baru akan memulainya sekarang," sahut sang tabib.
Oh, sepertinya personel yang akan didampingi fisioterapiku bertambah satu lagi.
"Baguslah kalau aku belum terlambat." Pria itu tampak seakan lega ketika mendengarnya.
Dengan langkahnya yang lebar, ia menghampiriku dalam waktu singkat. Ia segera mengulurkan tangannya, hendak membantuku untuk turun dari ranjang.
Aku tidak segera menyambar tangannya. Fokusku justru tertuju pada hal lain, yaitu pada kedua matanya yang terlihat masih sedikit sembab.
'Jejak tangisnya tadi pagi masih tersisa rupanya.'
"Kenapa? Ada yang salah dengan wajahku?"
Suaranya berhasil menarikku kembali dari lamunan. Dengan tubuh tersentak kecil, aku buru-buru menggeleng cepat.
"Ah, tidak," ucapku.
"Benarkah? Ya sudah," balasnya acuh tak acuh seraya mengedik bahu. "Ayo, kubantu memapahmu," susulnya lagi, mempertegas uluran tangannya.
Sejujurnya, aku selalu merasa jijik untuk bersentuhan dengan pria. Namun ...
Aku menelan saliva yang terasa getir seraya menghela napas pasrah sebelum akhirnya membalas uluran tangannya.
"... Terima kasih, Tuan Mikael."
"Panggil Mikael saja. Aku kan suamimu."
Haruskah aku memanggilnya begitu dan mulai menerima fakta kalau dia adalah suamiku?
Uh, itu aneh sekali.
Tapi ... terserahlah, iyakan saja dulu.
"Baik."
Karena ini baru kali pertama, prosesi fisioterapi yang harus kulalui saat ini hanya berupa jalan-jalan ringan di dalam kamar saja.
Tuan Mik—ah, maksudku Mikael, dia dengan penuh perhatian terus memapahku sembari berulang kali menyuruhku berhati-hati.
'Hahh, aku tidak pernah tahu kalau berjalan bisa jadi hal yang sesulit ini.'
Aku berulang kali mengernyit ketika kakiku terasa nyeri setiap kali mengambil langkah.
Meski begitu, 'Tidak, jangan menyerah!'
Aku harus cepat-cepat bisa kembali berjalan sebab aku tidak bisa menerima nasibku begitu saja dan hanya berbaring. Aku harus segera pulih agar bisa mencari kepingan memoriku yang hilang dengan kekuatanku sendiri.
"Tuan Duke, Nyonya Duchess, Tuan Muda datang."
Suara Elani menginterupsi, dan aku pun jadi menghentikan langkahku kemudian segera menoleh ke ambang pintu.
"Aiden, kau datang? Apa kau ingin melihat ibumu?"
"Iya, Ayah. Eum ... boleh?"
"Boleh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Suddenly Have A Child and Husband [END]
Historical FictionSetelah siuman pasca tenggelam, Katarina dikejutkan oleh fakta bahwa ia telah bersuami dan memiliki seorang anak laki-laki berusia empat tahun. Yang menjadi masalah adalah ... Katarina tidak ingat! Kapan dirinya menikah? Kapan dirinya melahirkan ana...