15

9K 621 26
                                    

Ruangan tempatku berada kini telah menjadi senyap.

Tidak terdengar lagi suara tangis maupun ocehan ceria Aiden sebab anak itu telah tenggelam di dalam dunia mimpi.

Posisi kami belum berubah. Anak itu masih berada di pangkuanku sembari memeluk pinggangku sekalipun sudah tertidur.

Dengan senyum tipis yang tersungging tanpa kusadari, aku mengelus surainya yang halus.

'Wangi stroberi, menggemaskan sekali.'

"Istriku ..."

Panggilan itu membuat lamunanku mendadak buyar.

Aku refleks menoleh ke sumber suara, menatap pria yang baru saja melewati pintu dan berjalan semakin mendekat.

"Apa semua sudah selesai diatasi, Tuan Duke?" tanyaku pada sosok itu.

"Tinggal sedikit lagi," balasnya. "Apa Aiden tertidur?" timpalnya, berbalik bertanya.

"Ya, baru saja."

"Kalau begitu baringkan saja dia di kasur, kau pasti lelah."

"Saya juga ingin begitu, tapi ..." Aku sedikit meringis. "Tangan dan kaki saya tidak bisa bergerak. Sepertinya kram."

"Oh? Benarkah?"

Aku membalas dengan anggukkan kepala.

Tanpa basa-basi atau meminta izinku lebih dulu, Mikael langsung mengangkat tubuh Aiden lalu membaringkannya ke atas ranjang, tepat di sebelah tempatku duduk.

Setelahnya, Mikael kembali berdiri dengan punggung tegak. Pusat pandangannya terjatuh pada kedua betis mungil Aiden yang dilapisi kain perban.

Pria itu tidak mengatakan apa pun kala melihatnya, tetapi terpancar jelas dari sorot matanya jika ia tengah dikuasai oleh nuansa biru.

Setelah beberapa detik memandanginya lamat-lamat, Mikael pun menampik pandangannya dan beralih menatap memar di bahuku.

Hal yang ia lakukan juga sama—menatapnya lekat-lekat dengan mata berbinar pedih.

Keheningan yang tercipta di antara kami membuat suasana canggung terasa semakin pekat.

Karena aku tidak nyaman dengan kecanggungan ini, kuputuskan untuk berbicara padanya.

"Tuan Duke—"

"Mikael," ujarnya, menyela cepat.

"... Ya?"

"Berhenti memanggilku, 'Tuan Duke, Tuan Duke', seperti itu, Istriku. Panggil aku dengan namaku. Kau tidak melupakannya kan?"

"O-oh, ya ... Baiklah, Mikael," sahutku separuh kikuk.

"Benar begitu," balasnya, agak puas. "Jadi, apa yang ingin kau katakan, Sayang?" susulnya.

"Ah, itu ..."

Aku menggaruk pipiku yang tidak gatal.

'Ugh, kenapa aku jadi merasa sangat canggung terhadapnya seperti ini?'

"Itu ... saya hanya ingin mengucapkan terima kasih," ucapku. "Terima kasih karena telah menolong saya dan Aiden, Mikael. Terima kasih karena telah datang tepat waktu tadi."

Setelah dipaksakan, akhirnya aku berhasil menyampaikan apa yang ingin kusampaikan padanya.

"Tidak, jangan berterima kasih. Justru, seharusnya aku meminta maaf. Padamu, pada Aiden."

Itu adalah respons yang berbeda dari yang bisa kuduga sehingga aku menatapnya dengan dahi berkerut.

'Apa maksudnya?' pikirku.

Suddenly Have A Child and Husband [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang