12

8.6K 627 26
                                    

Ketika hari berganti, malam telah bergulir menjadi pagi, aku merealisasikan keinginanku semalam untuk mendatangi Mikael guna mencari kejelasan darinya.

Aku datang ke kantornya lagi, mengetuk pintu seadanya, kemudian masuk sebelum sang pemilik ruangan sempat memberikan izin.

"Oh? Kau datang, Say—"

"Ada yang ingin saya tanyakan pada anda," ujarku tanpa basa-basi, memotong kalimat sapaannya.

Ah, benar. Aku kembali pada setelan awalku—berbicara formal pada Mikael.

"... Ya?"

Pria itu terenyak sejenak. Tubuhnya yang semula hendak bangkit dari kursi kerja kini berhenti bergerak. Ia menatapku dengan mata mengerjap.

Namun, itu tidak berlangsung lama.

"Ya, baiklah."

Pria itu beranjak dari tempatnya semula duduk kemudian melangkah. Kukira ia ingin menghampiriku. Namun, ia justru terlihat hendak berjalan melewatiku.

"Duduklah. Aku panggil seseorang dulu untuk membuatkan teh—"

Aku buru-buru menahan tangannya ketika kami bersisian, membuatnya tidak bisa melangkah lebih jauh.

"Sayang?" ucapnya bingung.

"Saya datang ke sini untuk menanyakan hal penting, bukan untuk bersantai. Jadi tidak perlu melayani saya seperti tamu, Tuan Duke," balasku dingin.

Ia tertegun dan tampaknya terenyak sejenak.

"... Oh, begitukah? Ya sudah. Kalau begitu, duduklah di sa—"

"Tidak perlu, saya hanya ingin bertanya sebentar kemudian pergi."

Aku menyela kalimatnya sekali lagi seraya buru-buru melepas tanganku dari pergelangan tangannya, dan menggosoknya ke sisi gaunku untuk menghapus jejaknya seraya mendelik mata ke sembarang sesaat.

Mikael terlihat tercengang karena tindakanku. Dan beberapa detik setelahnya, tatapannya berubah menjadi sendu.

Namun, aku tidak peduli.

"Tolong jawab saya. Kenapa kita bisa mempunyai anak?" tanyaku, langsung menyampaikan inti dari kedatanganku.

Mikael menghembuskan napasnya yang berat sebelum akhirnya menjawab tanpa gairah.

"Karena kau menginginkannya."

Aku sontak terbelalak, menatapnya tak percaya.

"Ya? Saya ... yang menginginkannya?"

Mikael mengangguk tanpa minat. "Benar."

Aku yang merasa skeptis menatapnya lamat-lamat dengan dahi berkerut.

"Jangan membohongi—"

"Aku tidak pernah mau membohongimu, Katarina," sanggahnya cepat. "Lebih baik kau marah karena aku bicara jujur daripada kau menyayangiku karena aku berbohong. Itu prinsipku," imbuhnya tegas.

'Mulut memang bisa berdalih, tapi mata kan tidak!'

Karena itu, aku menatap kedua manik matanya lekat-lekat, mencari semburat kebohongan di sana.

Namun, aku tidak menemukan apa pun. Tatapannya teguh, seakan percaya diri atas apa yang ia ucapkan.

Hal itu membuatku jadi semakin bingung.

"Tidak mungkin saya tidak membenci anda setelah anda menjebak saya dan membuat saya terpaksa harus menikahi anda karena skenario kotor buatan anda itu. Maka lebih tidak masuk akal lagi jika saya menginginkan anak dari anda ... Kecuali saya gila."

Suddenly Have A Child and Husband [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang