Aku merasa sangat bodoh, sungguh.
Bisa-bisanya aku mengajak Aiden piknik di taman manor untuk sarapan sambil melihat bunga dan kupu-kupu tanpa tahu kalau sekarang sudah masuk akhir musim gugur.
Mana ada bunga? Daun saja sudah rontok semua. Apalagi kupu-kupu!
Pantas saja Elani memandangiku dengan tatapan aneh ketika aku memintanya menyiapkan makanan untuk piknik.
Kenapa pula Elani hanya menurutiku tanpa memberitahukan kondisi yang sebenarnya? Kan kasihan Aiden. Anak kecil itu jadi harus makan pagi dengan terus diterpa angin dingin—walaupun kelihatannya dia senang-senang saja sih ...
Aku jadi merasa bersalah.
Kalau nanti dia jadi flu dan demam karena kebodohanku, bagaimana?
Bagaimana kalau nan ... ti ...?
Eh? Tunggu!
Bukankah aku tidak menyukai anak kecil?
Kenapa sekarang malah sibuk sekali memikirkannya?
Ah, sudahlah! Toh, peristiwanya juga sudah berlalu lebih dari dua jam yang lalu, jadi sebaiknya aku berhenti menyesali apa yang sudah terjadi.
Kalau nanti Aiden jatuh sakit—tapi semoga saja tidak—aku kan tinggal bertanggung jawab dengan merawatnya saja. Selesai.
Dengan penuh keteguhan hati, aku mengangguk kukuh, menyetujui isi pikiranku sendiri seraya menusuk sebutir anggur hijau menggunakan garpu lalu memakannya.
Aku mengunyahnya beberapa kali sembari menyandarkan punggungku pada sandaran sofa, menghela napas setelah menelannya, lalu memejamkan mata dengan kepala bersandar, menikmati keheningan dan waktu bersantai.
"Enak sekali ya hidup Duchess yang satu ini. Bukannya bekerja mengurus manor, malah sibuk berleha-leha saja."
Belum juga genap sepuluh detik aku memejamkan mata, kalimat sindiran itu membuatku terpaksa membuka mata kembali sembari mendengus.
'Enak sekali apanya? Coba saja kau lupa ingatan sepertiku, lalu rasakan seperti apa rasanya bingung dan gelisah terhadap dunia. Begitu terus setiap hari, sampai ingatanmu kembali. Tapi, tidak tahu juga apakah ingatan itu bisa kembali atau tidak.'
"Nona Ronen, anda tidak bisa masuk ke kamar Nyonya Duchess semau hati anda."
"Jangan banyak bicara. Lebih baik kau pergi membuat teh saja sana."
"Saya dayang Nyonya Duchess. Hanya perintah beliau yang perlu saya turuti."
"Hei! Seandainya wanita jalang itu tidak pernah muncul, akulah wanita yang seharusnya kau layani! Akulah yang seharusnya menjadi Duchess di rumah ini! Kau tahu?!"
"Namun, pada akhirnya saya hanya menjadi dayang Nyonya Katarina. Jadi, apa boleh buat, Nona Ronen? Sebaiknya anda keluar dari bayang-bayang masa lalu dan berdamai dengan kenyataan."
Sikap Elani saat ini membuatku agak tercengang, jujur.
Pasalnya, selama ini, perempuan itu selalu melayaniku dengan patuh selayaknya seorang pekerja teladan yang tahu batasan.
Aku baru tahu kalau dia memiliki sisi keras kepala dan ahli provokasi.
Kukira dia selalu berhati-hati dan memerhatikan sikapnya pada setiap bangsawan. Rupanya ia hanya mau berbakti pada majikannya saja.
"Hei, lihatlah lalat peliharaanmu ini! Tingkahnya terhadap tamu benar-benar kurang ajar! Kau harus mendisiplinkannya dengan benar! Setidaknya cambuk dia—"
"Elani, kau tahu apa salahmu kan?"
Sebelum amarah Nona Opelia semakin pecah, aku lebih dulu menyela kalimatnya, berupaya meredam rasa kesalnya seraya berjalan menghampiri mereka yang masih berada di ambang pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suddenly Have A Child and Husband [END]
Historical FictionSetelah siuman pasca tenggelam, Katarina dikejutkan oleh fakta bahwa ia telah bersuami dan memiliki seorang anak laki-laki berusia empat tahun. Yang menjadi masalah adalah ... Katarina tidak ingat! Kapan dirinya menikah? Kapan dirinya melahirkan ana...