• 𝐌𝐀 - 𝟎𝟖 [𝐒𝐞𝐧𝐢𝐨𝐫 𝐌𝐞𝐦𝐛𝐚𝐫𝐚]

52 34 52
                                    

#DAY09

“Seakan api menyala dalam air.”

Gemericik air hujan pagi hari membawa suasana menenangkan. Membawa aroma khas tanah terguyur, tubuh yang enggan untuk terbangun dari benda empuk itu.

Setelah mengecek tempat kerjanya, Nindah diputuskan untuk bekerja dua hari lagi sebagai karyawan yang masih training. Sebuah kebetulan, ia akan mencoba belajar menjadi karyawan yang disukai para konsumen. Sebuah dasar-dasar menjadi karyawan di Mall, yang memerlukan keramahan dan tanggap untuk segala sesuatu yang konsumen inginkan.

Walaupun sebuah kesalahan dalam bekerja adalah hal lumrah yang terjadi, terlebih untuk karyawan baru.

“Bagaimana pun aku harus bisa menjadi karyawan yang nggak kecewain para pembeli,” monolog Nindah.

“Jangan lupa beli keperluan yang memang dibutuhkan, mumpung masih ada waktu dua hari lagi,” ucap Bu Ratna.

Nindah menoleh. “Udah semua kok, Ma. Baju yang dipakai itu intinya serba hitam, aku udah punya semua. Mungkin nanti tinggal beli kemeja hitam lagi,” jawab Nindah.

“Ya udah, semangat kerjanya. Ini kesempatan kamu, jangan sia-siakan.” Bu Ratna terus-menerus memberi semangat anaknya untuk kali ini.

Ada perasaan senang ketika Nindah mendengar ucapan itu yang datang dari ibunya langsung. Seakan memberi power untuk menjalankan pekerjaan kalo ini dengan penuh percaya diri dan semangat yang membara.

Sekali lagi! Peran orang tua memang sangat dibutuhkan untuk segala apapun usaha yang sedang anaknya usahakan.

***

Kesempatan yang tidak mungkin untuk dibiarkan begitu saja, terlewati beberapa hari yang ternyata belum juga terbiasa dengan suasana baru.

Para senior memaki, membicarakan, menyalahkan hal yang sebenarnya wajar. Nindah di hari ke tujuh bekerja, ia melakukan kesalahan kecil saat mengantarkan pesanan.

“Kaya anak kecil banget deh, antarin makanan aja sampai salah meja,” ucap salah satu partner kerja Nindah.

“Maaf, aku kira memang orang itu karena mereka sama-sama bawa anak kecil,” bela Nindah.

“Halah.”

Rasanya ingin menangis kencang, Nindah seperti dipermalukan di tempat umum. Sebab di dekat stand yang ia jaga banyak karyawan dan karyawati mengobrol. Mata yang sudah berembun, segera ia usap. Ia tidak ingin terlihat lemah di depan banyak orang, hanya kamar yang menjadi tempat untuknya meluapkan emosinya. Emosi dari segala sisi emosi, yang ia pendam terlalu dalam.

Perkataan manusia menghakimi selayaknya penghakim handal, mulut pedas tidak terarah melontarkan kalimat merendahkan.

Seperti itukah peran manusia yang diciptakan?

Wahai pemilik raga, tetaplah tumbuh ditengah ruang penuh manipulasi, tidak semua orang tau bagaimana cara diri mengontrol isi hati.

Tuntutan menghujam agar menjadi seseorang yang mandiri, memilih kehendak sendiri seakan menjadi orang yang tidak tahu diri.

Tumbuhlah dewasa dengan hal yang kau kehendaki, jadilah mawar tanpa berubah melati. Hal pasti, manusia berhak menciptakan kebahagiaan untuk diri sendiri.

‘Tahan, ini bukan hal baru buatmu, Nin. Nggak usah cengeng, please,’ batin Nindah.

Mencoba untuk biasa saja, walaupun hati masih menyimpan rasa amarah yang ingin di muntahkan. Mengikhlaskan semua yang terjadi dengan lapangnya hati, mengelus dan memeluk diri telah menjadi kewajiban inti.

Tuhan ...

Bantu jiwa yang rapuh nan sedikit usang karena ujian hidupMu. Tertatih melangkah menikmati setiap angan yang telah Engkau tata rapi.

“Nggak usah di ambil hati, Mbak. Dia emang gitu orangnya,” ucap salah satu karyawan.

Nindah hanya mengulas senyum. Bukan jalan yang pas untuk dirinya mendapat hal buruk ketika melakukan kesalahan yang tidak sebenarnya tidak disengaja.

Senior seperti wajib membara, kesalahan kecil dibesarkan-besarkan tanpa henti.

***

“Gimana kerjanya? Sejauh ini aman?” tanya Bu Ratna.

“Aman kok, Mah. Ya ada lah satu, dua hal yang terjadi di kalangan karyawan,” jawab Nindah.

Hari ini Nindah pulang lebih awal, sebab dirinya mendapatkan shift pagi. Rasa lelah yang dirasakannya membuat ia ingin segera menjatuhkan tubuhnya di atas kasur empuk.

Membersihkan tubuhnya, membuat makanan yang ia inginkan. Perihal memasak Nindah sangat lihai, karena sudah menjadi kebiasaan untuknya.

Mari melupa, walaupun sulit untuk melakukannya. Hari esok harus Nindah usahakan menjadi hari yahh baik, ia akan belajar lebih banyak mengenai pekerjaan yang baru saja ia mulai. Bukan Nindah namanya jika hal kecil sudah menyerah, jiwa pejuang yang tidak akan luntur sedikit pun hanya karena ucapan manusia yang tidak memiliki peran penting dalam hidupnya.

Para pejuang kemerdekaan menjadi contoh tauladan yang patut untuk di tiru, Nindah hanya harus berjuang melewati ujian hidup, memerlukan kesabaran dan kekuatan untuk menampik ucapan beragam dari manusia lain.

TBC

𝐌𝐄𝐑𝐀𝐊𝐈𝐓 𝐀𝐒𝐀 : Kisah Singkat Dari Sang Pemimpi [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang