• 𝐌𝐀 - 𝟎𝟓 [𝐓𝐢𝐚𝐧𝐠 𝐊𝐮𝐚𝐭]

57 37 11
                                    

#DAY05

“Perempuan itu harus seperti tiang, kuat menahan apa yang menjadi beban.”

~Nindah Leeila Dreanditia

Semakin diterjang rasa lelah, namun enggan untuk menyerah. Wallahi, perjalanan hidup yang diberi Tuhan sungguh nikmat yang terkadang tidak dapat terungkapkan, manusia diberi kesempatan untuk berjuang meniti setiap detik takdir hidupnya. Seperti yang dirasakan Nindah, perempuan yang selalu meminta kemenangan atas usaha-usahanya.

Sungguh! Rasa sakit berulang kali ia dapatkan dari mulut manusia tak berperasaan. Sering kali hanya bisa mengusap air mata yang mengalir bebas. Berharap beban kian ringan, namun kenyataannya? Sulit tercapai.

“Mah, Nindah mau izin pergi sama temen. Nindah mau ajukan surat lamaran kerja di PT. Garmen,” ucap Nindah.

“Sama siapa? Ya udah, hati-hati di jalan,” jawab Bu Ratna.

Nindah menyalami tangan ibunya. “Sama Aura. Iya, Assalamu'alaikum.”

“Wa'alaikumussalam.”

Percobaan pertama dan kedua gagal tidak membuat Nindah berputus asa untuk melanjutkan perjuangannya, demi mendapatkan kesuksesan dan bisa menunjukkan bahwa dirinya mampu mendapat apa yang orang tuanya inginkan. Lelah rasanya, bertarung dengan isi kepala setiap detik, menit, jam, ingin mencoba menceritakan hal-hal yang menjadi beban seakan mulut terkunci rapat, Tuhan seperti memberi tahu bahwa tidak semua hal harus diceritakan. Tetapi, manusia mana yang terlampau kuat menahan beban itu sendiri? Membiarkan pikiran terus mengusik ketenangan dan mempengaruhi kesehatan.

Seorang gadis; malam tanpa bulan, selalu mencoba menjadi bunga tanpa akar, namun pada akhirnya bunga tanpa daun penyelesaiannya.

‘Jangan sia-siakan kesempatan kali ini, Nin. Bismillah, bisa,’ batin Nindah.

Aura memang pantas disebut teman terbaik, dan pun Nindah. Mereka berdua benar-benar menunjukkan bahwa tidak semua teman datang hanya karena butuh, tetapi teman yang saling memberi nasihat, membantu di saat kesusahan dan selalu memposisikan sebagai keluarga pun ada di dunia ini. Berteman sejak Sekolah Dasar hingga sampai detik dimana mereka beranjak dewasa.

Memasuki usia 20 tahun ke atas memang banyak tuntutan tentang hal yang sebenarnya sudah tercatat dalam buku berjudul ‘Takdir’. Takdir sebagai ketentuan dan kepastian hidup setiap makluk yang bernyawa, dan kun fayakun sebagai penentu yang sebenarnya. Masih banyak yang mempertanyakan tentang sesuatu yang sudah memiliki jawabannya, manusia hanya butuh menunggu kapan waktu itu terjadi.

Kesabaran yang paling sulit ialah tetap bertahan dalam situasi yang tidak diinginkan. Menyerah bukan jawaban, melanjutkan terlalu menyakitkan. Namun, separah apapun kondisinya dan sesakit apapun perjalanannya menerima jawaban akhirnya.

“Nin, udah tenang aja semuanya bakal sesuai rencana kita kok,” ucap Aura.

Nindah menarik nafasnya, mencoba untuk menetralkan suasana hatinya yang tidak karuan. Ia mencoba keluar dari zona nyaman, dengan harapan semua usahanya tidak akan pernah sia-sia.

Senyum tipis terukir. “Aku takut pas interview belibet ngomongnya, Ra,” ucap Nindah.

“Kamu bisa, Nin. Aku yakin kamu bisa, udah kita tunggu aja gimana hasilnya kamu berhasil dipanggil atau ah pasti dipanggil sih.” Aura sadar ucapannya akan membuat Nindah berkecil hati jika ia tidak memutarkan ke arah lain.

“Terima kasih ya, Ra. Kamu udah mau nemenin aku berjuang. Bersyukur banget punya temen kek kamu, walaupun agak miring sedikit otaknya tapi nggak apa-apa nanti aku benerin kok,” ucap Nindah enteng.

Wait, wait and wait, ini konsepnya gimana ya Bu? Awalnya bikin terharu, akhirnya bikin naik darah,” jawab Aura berkacah pinggang.

“Hehe, tapi beneran kamu itu temen terbaik yang aku punya,” ucap Nindah.

Aura merentangkan tangannya, meminta agar Nindah menerima pelukan persahabatan mereka. Salah satu rezeki dari Tuhan adalah diberikan satu orang sahabat yang selalu ada dan selalu mengerti.

★★★

“Perjuangan akan terbalas kontan, asal disertai usaha dan doa yang dilangitkan.”

Surat lamaran kerja sudah diberikan, harap-harap Tuhan dan semesta memberi restu pada kesempatan kali ini. Nindah menggantungkan harapan untuk pekerjaan yang telah ia daftar, demi mencukupi kebutuhan dan yang pasti sebagai pembuktian bahwa dirinya layak diberi apresiasi untuk segala usahanya selama ini.

Jiwa yang layu seakan meminta beristirahat sejenak,  menyelam ke dalam dunia khayalan mencari suatu kebahagiaan. Semu namun candu.

Apa kabar hati yang lara?

Apa kabar pikiran yang menumpuk?

Dan, apa kabar jiwa yang berusaha untuk selalu kuat?

Tangisan semesta mengguyur kota malam ini, Nindah duduk termenung, melihat ke arah jendela kaca yang menunjukkan bahwa semesta sedang bersedih seperti dirinya, suara dan suasana malam yang menggiring ke-syahdu-an, membuat kenyamanan terukir nyata.

“Semoga ada kabar baik, Ya Allah jangan pernah Engkau meninggalkan hamba-Mu yang mudah menangis ini. Wallahi, aku membutuhkan restu dari-Mu untuk segala usaha yang sedang aku usahakan,” monolog Nindah.

Kantuk kian menyerang, akhirnya Nindah berdiri dari duduknya. Melanjutkan langkah menuju ranjang dan menjatuhkan badannya ke atas kasur.

Bagaimana mungkin seorang manusia berjalan sendirian tanpa bantuan dari Tuhan? Entah apa pun perjalanannya, Tuhan selalu diperlukan di setiap langkah. Semesta pun mengiringi, menjadi saksi bisu yang terlihat nyata.

Seorang perempuan terlihat lemah saat dirinya dihadapkan dengan situasi yang menyulitkan, berhasil bertahan adalah hal yang paling tinggi dari hal lainnya. Memberi apresiasi diri pun ikut menjadi bagian penting dalam menjalankan hidup di dunia ini.

Kalau bukan sendiri mau siapa lagi?

“Bertahan sakit, menyerah bukan jalannya.”

Nindah memang tipikal perempuan yang enggan terlihat memiliki beban berat oleh orang tuanya atau orang lain. Ia akan terus menyimpan segala sesuatu yang menurutnya masih bisa ia telan sendiri, sampai batas waktu yang tidak ditentukan.

Terbilang berat, namun Nindah mengikuti serangkaian alur takdir dari sang kuasa. Tanpa penolakan, hanya saja keluhan singkat yang sering ia lakukan.

Tidak apa-apa, mengeluh lah sebentar lalu bangkitlah kembali menata masa depan. Banyak impian yang harus digapai, demi menghentikan ucapan rendahan yang datang dari makhluk ciptaan Tuhan.

“Hei, bangunlah. Ini aku, aku ada di masa depan. Lihatlah hasil usahamu itu, lihatlah kamu berhasil Nindah. Jangan coba-coba untuk menyerah, kalau kamu memang menginginkan hal yang sekarang kamu lihat di masa depan nanti.”

“Aku menunggumu, Nindah. Sampai jumpa di waktu terbaik yang Tuhan janjikan.”

Nindah menggeleng-gelengkan kepalanya, terbangun dengan napas tersenggal-senggal. Keringat yang membasahi kening, dan degupan jantung yang sedikit lebih cepat.

“Suara siapa itu?”

“Kenapa wajah dia mirip sama wajah aku? Aku ... aku melihat diri aku sendiri di masa depan? Apa ini?” Nindah kebingungan tidak tahu apa yang sudah terjadi ketika dirinya tertidur.

Dia bermimpi melihat dirinya sendiri? Bagaimana bisa? Masa depan? Apa ini sebuah jawaban agar Nindah tidak berhenti berjuang. Sebuah kemustahilan yang datang dengan cara mustahil.

TBC

𝐌𝐄𝐑𝐀𝐊𝐈𝐓 𝐀𝐒𝐀 : Kisah Singkat Dari Sang Pemimpi [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang