• 𝐌𝐀 - 𝟏𝟐 [𝐔𝐥𝐭𝐫𝐚𝐦𝐞𝐧 𝐊𝐞𝐬𝐢𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧]

37 23 1
                                    

#DAY14

“Kesempatan itu untuk dicoba, jika jawabannya coba lagi ya dicoba kembali.”

Sudah banyak ucapan meyakinkan dari Argan untuk Nindah, dan kehidupan Nindah yang seakan terpenuhi dengan permasalahan tak berujung.

Terlalu banyak memeluk kesedihan, senyuman yang seakan penuh kepalsuan. Air mata berderai, ketenangan yang selalu dicari. Menangis kala malam, mencari celah tenang yang dalam.

Bagaimana bisa kesempatan bahagia tidak kunjung nyata?

Serumit jalan takdir yang tengah Nindah jalani, mengapa kebahagiaan sulit untuk dirinya gapai.

“Ada apa di depan sana, ya Allah? Mengapa ujian-Mu begitu bertubi-tubi,” monolog Nindah.

“Yang pasti ada kebahagiaan buat kamu,” ucap Segan tiba-tiba.

Nindah terkejut, sejak kapan laki-laki itu berdiri di belakangnya? Sudah seperti jelangkung, datang tak diundang, pulang tak diantar. Argan seperti mengerti dimana saja tempat Nindah sering kunjungi, tempat yang tenang tentunya.

“Argan, sejak kapan berdiri di belakang?” tanya Nindah.

“Sejak seorang Nindah Leeila Dreanditia ngomong sendiri,” jawab Argan menatap wajah Nindah.

Nindah merasa malu saat ditatap tiba-tiba, Argan dan Utara sering membuat Nindah salah tingkah. Apa semua laki-laki memiliki kebiasaan yang sama? Menatap lawan jenisnya dengan tatapan dalam?

“Jangan lihatin gitu, malu Ar,” protes Nindah.

Argan tertawa melihat tingkah Nindah, gadis di sampingnya benar-benar pemalu. Padahal hanya dirinya yang menatap bukan banyak orang, namun respon Nindah sudah demikian.

Bukan Argan namanya jika tidak jahil, ia dengan sengaja menatap wajah gadis disampingnya berulang kali.

“Argan Ghazali, cukup ih. Malu, mau pulang aja deh kalo kamu gitu,” ucap Nindah cemberut.

“Iya-iya engga, jangan pulang. Di sini nyaman pasti buat kamu,” jawab Argan menatap ke depan.

Nindah menghentikan niatnya yang akan pergi dari tempat itu, ia kembali duduk menatap hamparan luas rumput hijau dan beberapa bunga yang menjadi lengkapnya. Bisa dikatakan Taman dan bisa dikatakan lapangan. Cukup luas, dan sangat nyaman untuk menyendiri.

“Kok kamu tahu sih, aku ada di sini? Ngikutin ya?” tanya Nindah.

“Engga, aku kan cenayang. Jadi tahu semua hal tentang kamu hehe,” jawab Argan cengengesan.

Nindah memukul lengan Argan. “Dasar!”

“Ada apa? Kenapa selalu datang ke Taman, dan pasti wajahnya cemberut. Ada masalah lagi? Siapa yang bikin masalah sama Nindah? Perlu aku kepret nggak orangnya? Bisa-bisanya bikin Nindah aku sedih gini, ayo-ayo bilang siapa yang udah jahat?” Pertanyaan bertubi-tubi dari Argan membuat Nindah sedikit kita tertawa.

“Kurang panjang, Ar. Aku bahkan lupa kamu nanya apa aja tadi tuh,” jawab Nindah.

“Lagian, banyak banget yang julid sama kamu. Nggak bosen apa gimana? Tanda-tanda mau di kepret Babang Argan ini mah,” ucap Argan penuh kekesalan.

“Aku emang suka aja datang ke Taman, menenangkan dan nyaman aja. Makanya sering ke sini,” jawab Nindah tenang.

“Nggak ada masalah kok, kamu tenang aja ya. Makasih udah mau peduli sama Nindah.” lanjutnya.

Jujur, Argan tidak percaya dengan pengakuan Nindah. Dari sorot mata yang banyak menyimpan luka, namun enggan untuk membuka dan membagi cerita kepada yang lain.

“Nin, aku tahu kamu bohong. Aku ingatin sekali lagi, kamu itu punya peluang besar untuk menjadi orang yang sukses. Banyak potensi yang bisa kamu banggakan, kalo kamu mulai menunjukkan semua itu aku orang pertama yang akan merasa bangga atas semua usaha kamu, yang udah berhasil kamu taklukkan,” ucap Argan.

“Kamu itu perempuan mandiri, perempuan hebat, kamu nggak pernah membenci orang yang membenci kamu, apalagi niat untuk membalas mereka. Itu bentuk kedewasaan kamu.” lanjutnya.

“Sekali lagi aku bilang, kamu itu punya banyak potensi dan kamu akan sukses di masa depan nanti. Aku temani proses buat gapai itu semua.” Argan terus meyakinkan Nindah, agar gadis itu tidak kehilangan semangat untuk menggapai mimpinya.

Senyuman itu kembali mengembang, kali ini benar-benar rasa syukur Nindah rasakan. Sulit untuk menemukan seseorang yang penuh dengan keyakinan untuk menjadi penyemangat orang lain, sedangkan kita tidak tahu orang tersebut memiliki permasalahan sendiri atau tidak.

Menunggu jawaban Nindah yang tidak kunjung terucapkan, Argan kembali buka suara. “Mau di sini terus atau mau pulang?”

“Masih mau di sini. Kamu kalo mau pulang, pulang aja,” jawab Nindah.

“Mau nemenin kamu.” Argan duduk di rumput-rumput hijau itu dan merebahkan tubuhnya.

Nindah melihat Argan yang di bawah, langsung ikut turun duduk di bawah. Tidak mungkin dirinya masih di atas, rasanya tidak sopan.

Angin semilir menyapa lembut wajah, membawa kesan yang nyaman dan yang pasti menggiring rasa kantuk datang menyerang.

“Aku ngantuk,” ucap Argan.

Beberapa menit, Nindah melihat Argan yang sudah benar-benar tertidur beralasan rumput. Wajah tampannya tidak luntur, ada rasa kagum Nindah terhadap Argan. Ia sesekali tersenyum kecil melihat laki-laki di sampingnya yang tengah tertidur pulas.

“Semoga rasa bahagia selalu ada sama kamu, Ar. Kamu orang baik, semoga Allah selalu mengirimkan orang-orang baik buatmu,” batin Nindah.

Keduanya sama-sama selalu mendoakan yang terbaik. Hidup saling melengkapi dan mengerti antar sesama memang seindah itu.

TBC

𝐌𝐄𝐑𝐀𝐊𝐈𝐓 𝐀𝐒𝐀 : Kisah Singkat Dari Sang Pemimpi [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang