“Serumit apa pun merangkai lego, lebih rumit merangkai takdir.”
Hari ini Nindah libur bekerja, dan hari ini sekaligus momen terakhir Nindah bekerja di Mall. Bukan tanpa sebab, ia sudah banyak menaruh sabar atas semua perlakuan teman kerjanya. Mungkin kali ini menjadi jawaban atas semua lara yang sudah Nindah terima. Ia memutuskan untuk resign dari pekerjaan itu, dan akan berusaha mencari pekerjaan yang jauh lebih bisa menghargai dirinya.
Gaji tidak seberapa, kerugian selalu ada, dan mendapatkan teman kerja yang seenaknya. Nindah bukan manusia yang harus selalu bersabar dan berdiam diri saat dirinya mendapatkan hal menyakitkan. Menurutnya keputusan ini sudah benar, ia mengundurkan diri. Percaya takdir Allah pasti baik, ia akan berusaha untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari segi mana pun. Walaupun tidak dengan cara cepat, namun hal itu pasti akan ia dapatkan.
“Ya udah, kalo emang itu keputusan kamu. Mama sama papa cuma bisa dukung kamu,” ucap Pak Bu Ratna.
Ucapan itu lolos dari mulut ibunya, rasa senang sudah pasti Nindah rasakan. Terlebih ia jarang mendapatkan support dari orang tuanya untuk segala hal yang sedang ia usahakan.
“Cari kerja yang lebih baik aja, kerja tapi rugi buat apa?” Kali ini Pak Indra yang berbicara.
“Iya, Pa, Ma. Nanti Nindah usaha buat cari kerja yang lebih baik lagi,” jawab Nindah.
“Tapi mungkin nggak langsung ketemu, jadi maaf kalo nanti Nindah lebih banyak waktu di rumah.” lanjutnya.
Bu Ratna dan Pak Indra menganggukkan kepalanya. Orang tuanya, kali ini mendukung Nindah. Ia tidak tahu perubahan sikap orang tuanya yang menurut dia sangat drastis.
•••
Setelah pengunduran diri dari pekerjaannya, Nindah di minta datang untuk mengambil bayaran dan mengembalikan seragam karyawan.
Nindah melihat respon teman-teman terlihat bahagia, apa benar mereka merasa bahagia saat dirinya mengundurkan diri? Tidak bisa dipungkiri manusia memang beragam, tidak akan bisa memaksakan kehendak manusia lain.
“Nin, disuruh nunggu sama Bu Eka,” ucao Aya.
“Iya, makasih ya,” jawab Nindah.
Nindah duduk di salah satu kursi untuk menunggu atasannya. Bahkan ketika dirinya duduk, tidak ada satu pun yang menghampiri dirinya untuk sekadar menanyakan alasan mengapa dirinya resign. Setidak penting kah Nindah di mata mereka?
Nindah tidak mengambil pusing, ia duduk dan memainkan ponselnya. Sampai pada akhirnya Bu Eka datang, dan beberapa kali mempertanyakan mengapa Nindah mengundurkan diri padahal Nindah baru beberapa minggu bekerja.
“Nggak dipertimbangkan lagi, Mbak?” ucap Bu Eka.
“Kamu kerjanya baik loh, nggak ada laporan buruk tentang kamu selama kerja di sini dan saya membutuhkan karyawan yang seperti kamu.” lanjut Bu Eka.
“Keputusan Nindah udah bulat, Bu. Maaf kalo Nindah bikin Ibu kecewa,” jawab Nindah.
Bu Eka memberikan beberapa lembar uang. “Ya sudah, ini bayaran kamu selama kerja di sini. Semoga setelah dari sini, dapat pengalaman yang lebih baik lagi ya, Mbak.”
“Aamiin, Bu Eka juga semoga makin sukses usahanya,” jawab Nindah.
Setelah mengobrol dan pamitan, Nindah pergi dari tempat itu tanpa pamitan kepada teman-temannya. Menurutnya percuma, tidak akan ada respons apa pun dari temannya.
Sebelum keluar dari Mall, Nindah berniat untuk membeli sesuatu yang memang ia butuhkan. Banyak pasang mata yang menatapnya, kembali rasa risih itu menyerangnya. Namun, ia mencoba untuk menampik dan berusaha percaya diri melewati tiap-tiap tatapan yang ditujukan kepada dirinya.
“Mereka punya mata, makanya lihat kamu Nindah. Jangan karena itu kamu kelewat risih,” batin Nindah.
Dirasa sudah cukup barang yang ia beli, Nindah langsung menuju kasir untuk membayar belanjaannya. Untung saja tidak mengantri saat akan membayar, tidak bisa dibayangkan jika dirinya harus mengantri panjang.
“Berapa, Mas?” tanya Nindah canggung.
“58 ribu, Mbak,” jawab Mas kasir.
Nindah menyodorkan uang 100 ribu untuk membayar belanjaannya.
“Mbaknya yang kerja di atas kan ya?” tanya Mas kasir.
“Iya dulu, kalo sekarang udah nggak,” jawab Nindah.
“Loh habis resign kah, Mbak?” tanya Mas kasir lagi.
Nindah hanya menganggukkan kepalanya, dan mengambil kembalian lalu pergi dari tempat itu.
“Makasih, Mas. Permisi,” ucap Nindah.
Setelah dari tempat itu, seperti biasa Nindah akan pergi ke Taman kesukaannya. Tempat ternyaman untuk dirinya menghabiskan waktu sendirian. Berharap tidak ada orang lain yang mengkacaukan suasana hati Nindah untuk sekarang.
Ia mencoba untuk menerima semua hal yang sudah terjadi hari ini, pengharapan baru akan ia mulai.
Dimana tempat yang pas untuk dirinya kembali meniti masa depan, sebuah asa yang akan kembali melambung menuju pintu langit.
•••
Di bawah pohon rindang, Nindah duduk termenung menikmati suasana siang hari yang tidak terlalu panas itu. Beberapa makanan ringan dan minuman yang ia bawa akan menambah kesan kenyamanan untuk siang ini.
Nindah memutar musik agar sedikit memecahkan keheningan yang ada.
Luka akan mengering jika terobati; namun ini tentang hati. Mengorbankan banyak bulir air mata yang mengalir layaknya sungai, usapan tangan yang mendarat di pipi, menyemangati diri sendiri tanpa henti.
“Bebanku terlalu banyak ya Allah, tolong aku untuk menyelesaikan misi takdir-Mu kali ini,” batin Nindah.
Tangannya merogoh kantong cemilan, lalu membuka salah satunya untuk ia makan. Minuman susu pun ia minum sampai tidak ada sisa, rasa haus dan memang susu menjadi salah satu minuman favoritnya.
“Semoga nggak ada jelangkung yang datang tiba-tiba lagi. Lagi pengen sendiri soalnya,” monolog Nindah.
Biasanya Argan yang tiba-tiba saja duduk di sampingnya, namun sekarang Nindah berharap laki-laki itu tidak datang di hadapannya sekarang.
“Tidak akan merasa lemah, jika Allah selalu kamu andalkan.”
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐌𝐄𝐑𝐀𝐊𝐈𝐓 𝐀𝐒𝐀 : Kisah Singkat Dari Sang Pemimpi [TERBIT]
أدب المراهقين📍𝐃𝐎𝐍'𝐓 𝐏𝐋𝐀𝐆𝐈𝐀𝐑𝐈𝐙𝐄 𝐌𝐘 𝐒𝐓𝐎𝐑𝐘! #𝐂𝐇𝐀𝐋𝐋𝐄𝐍𝐆𝐄𝐌𝐞𝐧𝐮𝐥𝐢𝐬𝟐𝟓𝐇𝐚𝐫𝐢_𝐓𝐞𝐨𝐫𝐢𝐊𝐚𝐭𝐚𝐏𝐮𝐛𝐥𝐢𝐬𝐡𝐢𝐧𝐠 ─── ・ 。゚☆: *.☽ .* :☆゚. ─── 𝐌𝐀𝐑𝐈 𝐁𝐀𝐂𝐀 𝐃𝐀𝐍 𝐑𝐄𝐒𝐀𝐏𝐈 𝐈𝐒𝐈𝐍𝐘𝐀🐤 Secuil apapun usaha yang telah kam...