Sepuluh tahun yang lalu, pada tahun D190, adalah kisah saat pertama kali aku tiba di Donya. Saat itu, aku hanyalah seorang anak biasa yang tidak tahu apa-apa tentang dunia luar. Aku membuka mataku perlahan, dan cahaya matahari yang menyilaukan membuatku menyipitkan mata. Aku merasakan tanah yang lembut di bawah tubuhku dan mendengar suara burung-burung berkicau di kejauhan. Aroma segar dedaunan dan tanah basah memenuhi hidungku, memberikan rasa tenang yang aneh. Aku mengedipkan mata beberapa kali, mencoba memahami di mana aku berada. Ini bukanlah tempat yang kukenal. Pepohonan tinggi menjulang di sekelilingku, disertai dengan langit biru cerah membentang tanpa awan. Aku merasa seperti berada jauh dari rumah.
Aku bangkit dengan bersusah payah, merasakan tubuhku yang lemah dan kepala yang berdenyut. Di sekelilingku, pepohonan tinggi menjulang dengan dedaunan yang berwarna-warni, sesuatu yang belum pernah kulihat sebelumnya. Aku mencoba mengingat apa yang terjadi, tetapi ingatanku kabur. Yang kutahu pasti adalah aku benar-benar tidak berada di rumah. Bahkan pemandangan seperti ini tidak kukenal sedikit pun.
"Ukh... Di mana aku?" Gumamku pada diri sendiri, dengan suara yang sedikit serak dan kepala yang pusing.
Tiba-tiba, dari balik semak-semak muncul seorang pemuda. Dia tampak sebaya denganku, dengan rambut merah yang berantakan dan mata cokelat yang tajam. Pemuda itu menatapku dengan penuh rasa ingin tahu. Begitu pula denganku.
"Siapa kau?" tanya pemuda itu dalam bahasa yang tidak kumengerti.
Aku hanya bisa menggelengkan kepala, tidak tahu bagaimana menjawab. Pemuda itu mendekat, mengulurkan tangan dengan senyum ramah.
"Ellard," katanya sambil menunjuk dirinya sendiri.
Aku mengerti bahwa itu adalah nama pemuda tersebut. Aku mencoba meniru gerakannya dengan menunjuk diriku sendiri dan berkata, "Azzo."
Ellard tersenyum lebih lebar dan mengangguk. Dia kemudian mengeluarkan sepotong roti dari tasnya dan memberikannya kepadaku. Aku menerima dengan rasa terima kasih, perutku yang kosong segera mengingatkanku betapa laparnya aku.
"Terima kasih," kataku, meskipun aku tahu Ellard mungkin tidak mengerti.
Ellard mengangguk, seolah memahami maksudku. Dia kemudian mengajak aku untuk duduk di bawah pohon besar. Kami duduk bersebelahan, dan Ellard mulai menggambar di tanah dengan ranting. Dia menggambar gambar sederhana dari dua anak laki-laki yang berdiri di depan sebuah rumah.
"Rumah?" tanyaku, menunjuk gambar itu.
Ellard mengangguk dan menunjuk dirinya sendiri, lalu menunjuk ke arah hutan. Aku mengerti bahwa Ellard ingin membawaku ke rumahnya. Dengan hati-hati, kami berdua bangkit dan mulai berjalan melalui hutan. Tidak lama kami berdua berjalan sampailah kami di suatu tanah lapang dan terdapat tenda di sana serta api unggun yang menyala. Ternyata ini yang dia maksud rumah pikirku.
Selama perjalanan menuju 'rumah' dengannya aku tidak merasakan hawa permusuhan sama sekali. Bisa dikatakan dia kemungkinan adalah orang yang jujur ingin menolongku. Kalau dipikirkan mungkin karena kami seumuran jadi kurasa dia langsung saja percaya denganku begitu bertemu meskipun aku sama sekali tidak mengerti apa yang dikatakannya, karena memang bahasa dan dunia kami berbeda sepertinya. Namun ciri fisiknya tidak berbeda jauh denganku.
Tidak lama kemudian, Kami tiba di tanah lapang yang luas di mana sebuah tenda besar berdiri kokoh dengan api unggun yang menyala di depannya. Ellard mengajakku duduk di dekat api unggun, dan aku merasakan kehangatan yang menyenangkan menyelimuti tubuhku yang lelah. Bukan lelah karena fisik, melainkan secara mental dan pikiran. Ellard mulai berbicara dalam bahasa yang tidak kumengerti, tetapi intonasi suaranya terdengar menenangkan.
Setiap hari, Ellard mengajarkanku kata-kata baru dalam bahasanya. Dia menggunakan gambar dan gerakan tangan untuk membantuku memahami. Aku belajar dengan cepat, dan dalam beberapa minggu, aku sudah bisa berbicara sedikit dalam bahasa mereka.
Suatu malam, saat kami duduk di dekat api unggun, Ellard mulai bercerita tentang dirinya. Dia menjelaskan bahwa dia adalah seorang petualang dan penyihir. Dia menunjukkan beberapa trik sihir sederhana, seperti membuat api unggun menyala lebih terang dengan menambahkan sihir api padanya dan menggerakkan batu-batu kecil dengan pikirannya. Aku yang baru saja melihat sihir secara langsung terpesona melihatnya. Meskipun beberapa kali sepertinya dia berusaha menyembunyikan sihirnya dariku, entah apa yang membuatnya melakukan hal seperti itu.
"Hei Azzo," kata Ellard.
"Dunia ini penuh dengan keajaiban. Aku akan mengajarkanmu cara bertahan hidup di sini dan mungkin, suatu hari nanti, kau juga bisa belajar sihir." Lanjutnya.
Aku merasakan perasaan campuran antara kegembiraan dan kecemasan. Dunia baru ini penuh dengan misteri, dan aku tidak tahu apa yang menantiku. Namun, dengan Ellard di sisiku, aku merasa siap untuk menghadapi apa pun yang akan datang.
Malam itu, setelah makan malam, aku merasa sangat lelah dan segera tertidur di dalam tenda. Dalam tidurku, aku mulai mengigau, mencoba mengingat apa yang membawaku ke Donya. Bayangan-bayangan samar muncul di benakku, tetapi tidak ada yang jelas. Tiba-tiba, aku merasakan sesuatu yang aneh dengan mataku. Mata kananku terasa panas.
Aku pun langsung saja terbangun dengan napas terengah-engah, keringat dingin membasahi dahiku. Ellard duduk di dekatku, wajahnya penuh kekhawatiran.
"Azzo, kau ada yang ingin kuberitahukan padamu, tapi tolong jangan panik." katanya dengan suara serius.
"Mata kananmu... Itu berubah warna saat kau tidur. Ini bukanlah hal yang biasa."
Aku menatapnya dengan bingung. "Apa maksudmu? Aku memang merasakan mataku sedikit perih. Tapi yang benar masa berubah warna?"
Ketika aku mengatakannya, sakit kepala langsung menghampiriku.
"Uwa! Kepalaku!"
Ellard langsung dengan segera mendekat dan memegang bahuku. "Tenanglah, Azzo. Tarik napas dalam-dalam lalu keluarkan. Aku ada di sini untuk membantumu."
Aku mencoba mengikuti sarannya, menarik napas dalam-dalam meskipun rasa sakit di kepalaku semakin menjadi-jadi. Namun, tiba-tiba saja rasa sakit itu menghilang begitu saja. Aku membuka mataku dan melihat ke arah Ellard yang masih tampak khawatir.
"Bagaimana perasaanmu sekarang?" tanya Ellard dengan cemas.
Aku mengedipkan mata beberapa kali. "Aneh, sakit kepalaku hilang dan mataku... rasanya normal lagi."
Ellard menatapku dengan penuh keheranan. "Mata kananmu... Sepertinya kembali normal ya. Tetapi ini sangat aneh, Azzo. Aku baru pertama kali melihat mata seseorang berubah warna seperti itu dan juga disertai dengan sakit kepala. Kurasa kita harus menyelidiki ini lebih lanjut. Kemungkinan ini berhubungan dengan hilangnya ingatanmu."
Aku mengangguk, masih merasa bingung dengan apa yang baru saja terjadi. "Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang?"
Ellard berdiri dan mengulurkan tangannya padaku.
"Kita akan mencari tahu lebih banyak tentang apa yang terjadi padamu. Mungkin ada seseorang atau sesuatu di Donya yang bisa memberi kita jawaban. Tapi, pertama kita akan melanjutkan petualanganku. Aku ingin melihat reruntuhan-reruntuhan yang ada beserta artefak di dalamnya, ditambah lagi kuharap aku bisa menemukan artefak untukku dan tentu saja untukmu Azzo. Apakah kau mau bertualang bersamaku?"
"Meskipun kurasa tidak ada jaminan pasti untuk menemukan ingatanku dengan cepat. Tapi tidak ada pilihan lain, aku akan mengikutimu kawan!"
Aku merasa sangat bersyukur karena ditolong oleh Ellard. Tanpa dia, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan di dunia yang asing ini. Dengan hati yang penuh pertanyaan dan sedikit ketakutan, aku mengangguk. Aku tahu bahwa perjalanan ini baru saja dimulai, dan dengan Ellard yang di sisiku, aku merasa sedikit lebih siap untuk menghadapi apa pun yang akan datang. Setidaknya aku tidak sendirian.
....................bersambung......................
KAMU SEDANG MEMBACA
Terbangun
FantasyTerlempar ke dunia asing bernama "donya" selama 10 tahun dengan tubuh tak menua sedikitpun, tanpa ingatan. Hanya dengan pecahan ingatan tentang dunia lama yang hancur dan matanya yang berubah warna ketika mengingat kejadian itu. Bermodalkan keingin...