Di Pagi hari, beberapa saat sebelum rombongan Licht sampai. Setelah di malam harinya perjamuan luar biasa dengan Azzo dan Ellard yang tidak sengaja masuk ke wilayah Istana Langit. Emila bangun dengan perasaan sumringah serta riang gembira tidak seperti biasanya. Karena dirinya tau kalau sebentar lagi akan kedatangan tamu lagi yang tidak kalah penting yaitu penguasa Sonnenstadt, Sang Dewa Cahaya Licht. Mengapa dia bisa tau? Karena dia memiliki sebuah intuisi akan masa depan yang luar biasa akurat.
"Hoahm... Hari ini adalah hari yang penting. Karena aku merasa akan mendapatkan tamu, seorang teman lama yang telah membuat pelindung sihir di daratan langit ini." Tersenyum dengan sedikit mengerikan serasa ada dendam lama yang ikut terpancar keluar dari senyumannya itu.
Dia bangun dari tempat tidurnya dan segera menatap jendela dan melihat ke arah luar. Dia benar-benar tidak sabar akan kedatangan teman lamanya itu.
"Wah? Istana ini sudah dikelilingi oleh Sihir Deteksi, terlebih lagi ini... Sihir Kuno ya? Kemungkinan saat aku tertidur lebih awal tadi si Ellard Vahran itu memasangnya, dan ini... Aku bisa merasakan ada aura tipis yang mengelilingi Istana Langit ini untuk mendeteksi pergerakan sekitar juga? Pasti ini milik Adik kecil Azzo. Mereka berdua benar-benar menarik. Memang intuisiku tidak pernah salah untuk menilai seseorang. Tapi aura ini terasa sedikit tidak stabil, meskipun tingkatan ketipisannya melebihi Sihir Kuno, namun fluktuasi dalam aura ini... Apa dia berjaga semalaman? Kucoba saja menghubunginya. Sihir Kuno: Telepati."
Sambil menatap ke jendela melihat kegelapan di pagi hari, Emilia merapalkan sihir untuk berkomunikasi dengan Azzo. Dia merasa bahwa Azzo terjaga semalaman hanya untuk memasang aura pendeteksi itu sepanjang malam.
"Hei adik kecilku, apa kamu masih bangun?"
"Hmmm..... Kok ada suara di kepalaku? Apakah ada hantu di sini?"
"Aku bukan hantu tau... Aku ini-"
"Oh! Suara ini... Kak Emi!"
"Nah itu maksudku. Kamu tidak tidur semalaman ya? Aku bisa merasakan kamu berusaha mempertahankan auramu agar setipis tisu. Bahkan lebih tipis dari sihir Ellard. Aku tau susah untuk mengendalikan aura agar cara kerjanya otomatis seperti sihir, namun hal itu bisa ditutupi oleh usaha kita dalam berlatih. Jadi..."
"Ja-jadi apa kak?"
"Apa kamu melupakan untuk berlatih auramu?"
"Em... Se-sepertinya begitu kak hehe... Ta-tapi kan ini juga bisa dianggap sebagai latihan kan? Ehehe"
"Huft... Sudahlah kita bahas lagi ini nanti, sebaiknya kamu bersiap dengan semua perlengkapan bertempurmu. Karena kita akan segera kedatangan 'tamu' penting."
"Tamu? Apakah mereka setidak ramah itu sampai kita perlu menyambutnya dengan pedang?" Merasa bingung.
"Benar. Dia adalah teman lamaku, yang menaruh pelindung sihir cahaya di Daratan Langit ini. Menurutnya aku ini suka mengganggu di Sonnenstadt, yang akhirnya dia mengurungku di sini. Dan dia menyiapkan pintu masuk di bawah sana menuju kemari tanpa menyiapkan pintu keluar untukku."
"Bentar kak, jadi aku dan Ellard tidak bisa keluar dari sini?"
"Tidak begitu, kalian para manusia bisa bebas keluar masuk Daratan Langit ini, namun maksud dari pembuatan pintu masuk itu adalah agar kalian bisa menghajarku dan akan mendapatkan hadiah setelahnya. Kamu tau kan ada labirin tepat di bawah sana?"
"Iya aku tau kak."
"Aku adalah pengontrol dan musuh yang akan kalian hadapi terakhir, jika kalian ingin menyelesaikan labirin itu."
"Jadi kami salah pintu dong?! Dan dengan memasuki Daratan Langit ini langsung, bahkan bisa memasuki Istana ini dan disambut dengan ramah oleh kakak?"
"Kalian adalah pengecualian, aku merasa bahwa kalian adalah sosok penting yang akan mengubah Donya di masa depan. Intuisiku yang mengatakannya, dan salah asal kamu tau intuisiku ini jarang sekali meleset. Baiklah kalau begitu, kita selesai mengobrolnya, tamu kita sudah memasuki Sonnenstadt."
KAMU SEDANG MEMBACA
Terbangun
FantasyTerlempar ke dunia asing bernama "donya" selama 10 tahun dengan tubuh tak menua sedikitpun, tanpa ingatan. Hanya dengan pecahan ingatan tentang dunia lama yang hancur dan matanya yang berubah warna ketika mengingat kejadian itu. Bermodalkan keingin...