Lekas sembuh untuk segala rasa tidak nyaman yang ada pada relungmu, Tuan.
🍃
🍃
🍃
🍃
Sore ini, dengan cerah dan benderang, Huan pergi kesuatu tempat sendiri. Tidak diantar oleh siapapun termasuk Pak Boim, driver pribadi gadis dengan manik segelap obsidian itu.
Huan turun dari sebuah motor metic dan melepaskan helm berwarna hijau. Memberikan uang 20 ribu rupiah pada driver ojek online. Setelahnya, melangkahkan kaki menuju area depan sebuah pemakaman dengan bunga matahari di tangan.
Gadis itu ingin mengunjungi Opanya, tapi tidak seperti biasa. Ia tidak ditemani dengan Hannah, Illiana atau Samudera. Ketiganya tengah sibuk dengan urusan masing-masing. Tubuhnya dibalut celana jeans hitam, hoodie biru langit⸺warna kesukaan Teduh Abraham dan sandal jepit senada pakaian bawah.
Huan akan lebih sering mengunjungi mendiang Abraham jika akan diadakan Ulangan Harian Ekonomi, mata pelajaran yang dijadikan pelajaran lintas minat di jurusan IPA. Huan merasa agak tidak pintar, jadi demi memberi asupan pada sugesti ia harus menyambangi sang Opa yang cerdas dalam hal tersebut. Pengusaha mana sih yang tidak bisa Ekonomi?
Huan melangkah girang dengan senyum yang lebar. Tapi, saat sudah semakin dekat dengan ambang batas rumah terakhir orang yang sudah tiada dan orang hidup, ia melihat seseorang yang akhir-akhir ini membuat jantungnya berdegup tidak waras, berdiri di depan gerbang. Di tangan orang itu membawa buket bunga lily. Hanya mematung dan tidak kelihatan ingin masuk ke dalam sana.
"Lah, Adikara ngapa di sini?" gumam Huan heran sambil menelengkan kepalanya.
"Neng Huan kenal sama orang itu?" tanya seorang penjual bunga tabur, ibu-ibu setengah baya yang sering Huan ajak berbincang setiap ke sini. Bu Ida.
Huan menoleh dan menghampiri si penjual. "Iya, Bu. Temen sekolah Huan."
Bu Ida mengangguk paham. Mulutnya berseru huruf o panjang. "Dia sering banget ke sini, Neng."
Kepala Huan meneleng. "Sering?"
"Iya, sering banget. Tapi, Ibu gak tau siapa yang meninggal. Dia selalu di depan gerbang dan gak pernah masuk. Udah setahun belakangan saya liat orang itu gitu terus," jelas Bu Ida.
Huan tersenyum takzim. "Beli bunganya 1 bungkus, Bu."
Ibu penjual bunga mengangguk semangat dan memberikan apa yang Huan mau. "Makasih, Neng."
Huan melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti, maniknya tidak lepas dari tubuh tegap menjulang milik Alan. Tubuh yang terlihat sehat itu ternyata ringkih di dalam. Mata yang menatap penuh sendu ke dalam dan jujur Huan terganggu dan tidak menyukainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
OMBROPHOBIA BEING PLUVIOPHILE || ༺On Going༻
Teen Fiction🥇Highest Ranking : #1 Ombrophobia Ketika hujan adalah musuhmu namun salah satu penikmatnya adalah alasan degup sarkas itu. Hanya sebuah kisah sederhana beberapa insan manusia di masa putih abu-abu. Hujan, bola, aksara, raih cita, pendidikan dan sem...