"Sejak kapan mas Zio tahu kalo bunda Irma emang mau menjodohkan kita?"
"Sejak pertama kita bertemu, di kampus bunda. Itu sudah masuk awal rencana bunda untuk memperkenalkan kita" sahut Zio yang kini tengah mengaduk acak cat dengan warna campuran di atas palet.
Tangannya yang sedari tadi mengapit kuas, ia celupkan alat melukis itu pada cat lalu mulai menempelkan ujung kuas pada kanvas.
"Bunda itu mendesak saya, supaya segera membawa perempuan ke rumah." Ujarnya tanpa menoleh. "Bunda juga maunya, saya dengan perempuan yang saya pilih itu langsung ke jenjang serius saja, gak usah main-main lagi seperti kebanyakan orang."
"Kenapa?"
"Menurutmu kenapa bil?"
Abil memeluk lututnya, Duduk di belakang punggung Zio yang sesekali bergerak ke sana kemari mengikuti kuas. Kepala Abil menengadah, "karena mas Zio sudah tua" jawabnya asal.
Mendengar itul, Zio sampai menengok, dan diberi cengiran oleh gadis yang sedang bersamanya. "Maaf mas.." ucapnya mendapat tatapan tajam lelaki di itu.
"Jadi, gimana mas ke depannya?"
"Gak gimana-gimana, kita jalanin semuanya sama-sama, ya?" Zio menoleh lagi, kali ini yang ia lihat adalah senyuman Abil yang luntur dan tak ada ekspresi apapun di wajahnya.
"Tenang ajah, di jodohkan sama saya gak se-horor itu bil" katanya memberi penenang setelah menyimpulkan bahwa Abil terlihat keberatan sekali.
Hembusan nafas Abil terdengar seperti paksaan, terdengar saat deburan ombak belum kembali mengusik indra pendengaran. "Mas Zio kenapa gak nolak ajah dari awal?!"
"Kenapa harus ditolak?"
"Karena mas Zio kan tahu sendiri, aku belum selesai sama──masa lalu"
Mendengar Abil, ia menjeda gerak tangannya yang baru menyelesaikan setengah lukisan pantai, persis seperti air biru di hadapannya.
Awalnya, Zio saja tidak tahu jika gadis yang akan dijodohkan dengannya belum selesai dengan semua kisah masa lalu.
"Aku gak tau, sampai kapan aku akan terus peduli sama semua tentang almarhum." Kepalanya menunduk, posisi duduknya di ubah. Bersila di atas pasir dan jemari yang sesekali membuat pola di sana.
"Aku takut, mengecewakan bunda dan kamu mas" tutur Abil sukses membuat Zio menggagalkan janjinya pada diri sendiri untuk menyelesaikan lukisan itu dalam waktu kurang dari satu jam.
Zio ikut duduk, di sampingnya. Sejajar dengan tubuh gadis itu sambil memandang luasnya hamparan pantai yang ada di depan mata.
"Pertama, saya gak akan larang kamu untuk peduli dengan semua tentang almarhum. Tapi izinkan saya, sedikit saja menggeser posisi almarhum di hati kamu, dengan cara saya."
Untuk sepersekian detik, berhasil membuat Abil menoleh ke arahnya. Sebelum kembali melihat lurus ke depan.
"Kedua, kamu gak akan mengecewakan kami. Karena dengan penerimaan kamu saja, itu sudah cukup buat kami bahagia. Terutama bunda" terangnya lagi.
Dan Abil semakin yakin, merasa dirinya tak pantas bersanding dengan pria ini. Ia merasa tak memiliki kepantasan bersatu dengan Zio sebagai wanita pertama setelah bundanya. Abil merasa jahat jika semua tujuannya hanya untuk Bunda Irma, sedangkan Zio saja meyakinkan ragunya, dia bahkan mau menerima Abil dengan segala duka yang masih tidak ia terima sampai saat ini. Dengan segala kenangan yang masih tersimpan rapih dan selalu diungkit lagi dan lagi.
Zio terima, asal Abil kebahagiaan bundanya. Meski harus memaksa hatinya sendiri untuk sepenuhnya menggandrungi tulus pada Abil, dan itu akan sulit.
Zio tidak pernah merasakan bagaimana berwarnanya hidup saat jatuh cinta. Tidak pernah pula iri kepada adiknya, Eksa. Yang setiap Minggu membawa perempuan berbeda ke rumahnya. Sifatnya jauh berbeda, sampai bunda Irma berprasangka buruk pada Zio, sebab ia terlalu santai untuk urusan cinta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seni mengeja duka
Любовные романыBagi seorang pria dewasa, kabar duka lima tahun lalu membuatnya takut kehilangan lagi. Pun bagi gadis manis yang merasa satu tahun ini teramat lama prosesnya untuk menamatkan sebuah cerita kesedihan. Lalu bagaimana jika semesta mempertemukan keduany...