-Zio, seorang seniman.

752 118 28
                                    

Pada jiwa yang masih belum sepenuhnya rela, bahwa yang telah tiada itu sudah punya kehidupan lain di alam sana. Jika sekedar menghampiri dalam mimpi, percayalah itu hanya bunga tidur, yang tidak perlu kita laruti.

Satu tulisan untuk satu halaman yang sedang Abil susun menjadi sebuah buku. Sudah satu tahun yang lalu memulai lembaran awal, dan Abil sedang mengisi lembaran kosong untuk genap menjadi 100 halaman.

Memang tidak mudah, seolah itu menampilkan dengan jelas bayangan setiap kejadian yang ia tuliskan. Tapi, jiwanya justru selalu tenang. Setiap kali berhasil menyoret lembar kosong dengan semua perasaan yang selama ini ia pendam.

"Alhamdulillah.." lirihnya kembali menutup buku paling berharga miliknya. Beriringan dengan kalimat tahmid yang terucap, ponsel Abil bergetar. Menandakan ada pesan masuk ke dalamnya.

Abil tentu segera mengecek ponselnya, barangkali pesan datang dari dosen pembimbing untuk meminta temu hari ini.

Tapi ternyata bukan. Pesannya memang dari dosen, lebih tepatnya dari Bu Irma. Dosen terdekat dengannya sepanjang perkuliahan.

Bu Irma (dosen)
Abil, hari ini ada jadwal bimbingan?
Jika tidak, tolong antar ibu ke toko kain ya. Ibu mau menjahit batik dan bahannya belum punya.

Heran sudah pasti. Biasanya Bu Irma memang meminta bantuan Abil, tapi tidak di area luar kampus. Kali ini berbeda. Bu Irma bahkan meminta Abil mengantarnya. Bukankah Bu Irma mempunyai anak laki-laki yang cukup dewasa dan pastinya bisa di andalkan? Abil kurang paham soal itu.

Bu Irma (dosen)
Nanti ibu jemput ke rumah Abil ya.

Itu pesan lanjutannya. Membuat Abil segera bangkit dari kursi nya.

Baik ibu.

Balasnya singkat. Pun ia segera bergerak mencari pakaian yang cocok untuk dikenakan. Lebih tepatnya terlihat sopan.

Ini pertama kalinya Abil dijemput Bu Irma, dan entah harus bersikap seperti apa. Semoga saja Bu Irma bisa mencairkan suasana nantinya.

Abil bukan type gadis yang repot untuk merias wajahnya, ia hanya memoleskan sedikit make up pun hasilnya sudah sangat indah dipandang.

Bahkan sebelum Bu Irma datang ke depan rumahnya, Abil sudah terlebih dulu meminta izin pada mamah dan papahnya untuk keluar hari ini. Bukan tidak ingin menawarkan Bu Irma masuk ke dalam rumahnya sejenak. Tapi Abil tidak enak jika bu Irma justru malah menunggunya lama.

Beruntungnya, Abil datang ke depan tepat waktu saat sebuah mobil putih berhenti di hadapannya.

"Nak cantik, ayo masuk!" Titah Bu Irma sembari memberi kode agar Abil duduk bersamanya di jok belakang.

"Iya Bu" Abil tak akan sadar siapa supirnya, ia sudah menebak pasti supir pribadi Bu Irma yang akan menyetir mobil ini.

Kenyataanya berbeda, saat Abil melihat seorang lelaki sempat menoleh ke belakang. Lelaki yang kemarin duduk di hadapannya, lelaki yang bu Irma kenalkan sebagai putranya.

"Dari anaknya bunda, beneran beralih jadi supir pribadi bunda nih?"

Lelucon itu membuat Abil tersenyum bersamaan dengan Bu Irma yang tertawa mendengarnya.

"Iya, supir pribadi kami, para tuan puteri" jawab Bu Irma membuat lelaki itu menarik sudut bibirnya di depan sana.

"Tadinya ibu gak mau merepotkan Abil, tapi ibu punya nya anak cowo. Gak bisa dipercaya untuk mengantar ibu pilih-pilih bahan" klarifikasinya terhadap Abil.

"Ibu gak merepotkan sama sekali Bu, lagi pula, Abil juga lagi gak ada kegiatan hari ini."

Elusan tangan Bu Irma di pundak Abil terasa begitu lembut. Selembut sentuhan mamanya sendiri. Bu Irma itu pintar sekali membuat Abil nyaman dan tidak merasa canggung sama sekali saat bersamanya.

Seni mengeja dukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang