-Lukisan lama

816 126 18
                                    


"Dari diri saya yang terus-menerus menginginkan temu dengan kamu, apa artinya saya sudah jatuh cinta?"

Iya, kamu sudah jatuh cinta mas.

Hingga akhirnya, Zio benar-benar membuktikan keseriusannya. Datang ke rumah Abil untuk menentukan tanggal pernikahan, beserta seluruh kebutuhan di dalamnya. Tak menyangka akan berjalan semulus ini. Kenapa saat bersama Fero dulu terasa sekali banyak rintangannya?

Teringat lagi.

Daya tarik seorang Zio nyatanya mampu dengan mudah meluluhkan om Firman. Kejujurannya, kemampuannya, kelembutan tutur katanya, pergaulannya, pun cara ia menjaga dirinya dan Abil.

Meski berawal dari yang katanya demi bunda, nyatanya ia merasakan jatuh cinta juga. Bahkan cinta yang Zio miliki tidak terkesan secara paksa. Tidak menggebu dan lebih tenang. Ia, mencintai sosok pilihan bundanya dengan teramat tenang. Sebab ia sedang tidak menyimpan nama siapapun dalam hatinya.

Pria tampan itu sedang memandangi langkah kecil gadis yang sedang berjalan ke arah mobilnya. Tanpa senyuman pun, Abil memang terlihat begitu cantik. Wajah teduhnya, pantas saja membuat Zio juga berhasil memiliki jiwa yang teramat tenang setiap kali menghadapi Abil.

"Hai mas zio~"

Zio berdeham, "hai bil."

Seutas senyum cukup untuk saling balas membalas. Sebelum akhirnya Abil ikut bergabung duduk di depan bersama Zio.

Agenda mereka yaitu mengecek kembali semua kebutuhan menjelang pernikahan, apakah sudah mencapai angka yang seharusnya atau belum. Termasuk fitting baju yang seminggu lalu sudah dilakukan sebetulnya. Hanya saja banyak yang perlu di perbaiki. Sekaligus menjalankan rangkaian acara gladi resik untuk melangsungkan wisuda di hari esok.

"Enggak kerasa ya, tinggal dua minggu lagi kita udah resmi menikah." Ujar Abil, diam-diam mematikan ponsel lalu di taruh ke atas pahanya.

"Mas Zio okay?"

Abil begitu peka dengan ketegangan yang tiba-tiba terlihat dari mimik muka calon suaminya. Selepas beberapa detik lalu Abil mengungkit tentang waktu pernikahan mereka.

"Okey aja, saya cuman kepikiran sesuatu." Ungkapnya membuat Abil menyerongkan tubuh ke arahnya.

Semenjak malam itu, Abil juga benar-benar mengusahakan perhatian penuh pada Zio. Sehingga perlahan ia lupa dengan sosok Fero yang selalu ia tulis tentangnya setiap malam.

"Kepikiran apa mas, mas Zio boleh cerita kalo mau." Tawarnya.

Zio menoleh, "kita ke studio dulu ya, sebentar."

Yang ditanyai mengangguk menyetujui, "boleh mas."

Mungkin Zio ingin bercerita di rooftop studionya, tebak Abil. Lupakan perkara Celine yang pernah berusaha menempelkan diri pada tubuh Zio saat itu. Abil sudah tak memikirkannya lagi. Lagipula sudah Zio jelaskan bahwa pria itu hanya akan jatuh cinta pada Abil seorang. Tidak ada siapapun selainnya, dan Abil percaya. Sebab tak ada kilatan pembohong dalam mata Zio setiap menatapnya.

Mobil sedan berwarna hitam itu melaju cepat hingga mencapai tujuannya. Oh ya, Abil sudah tidak takut kecepatan tinggi lagi. Sebab setiap berpergian dengan Zio, ia selalu percaya bahwa pria itu selalu berjanji untuk berhati-hati meski kecepatannya tak bisa rendah sama sekali.

Abil sudah menjadi gadis yang berani menghadapi ketakutan-ketakutan yang disebabkan karena traumanya. Asal bersama Zio, ia percaya.

"Kita mau ngapain emangnya mas? Mas Zio ada kerjaan dulu ya?" Abil bertanya dengan kaki yang tetap melangkah mengikuti Zio.

Seni mengeja dukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang