Abil tidak dapat berkonsentrasi hampir seharian ini. Ia sudah coba mengenyahkan bayangan tentang bangunnya di pagi hari tanpa sosok lelaki yang berstatus sebagai suami. Padahal jelas sekali semalam ia tertidur pada bahu suaminya.
Abil kesal, bukan hanya karena Zio tak ada saat ia membuka mata. Tapi sedikit tak terima saat lelaki itu berterus terang selepas datang usai berolahraga.
Katanya, alasan tidak mengajak Abi karena gadis itu terlihat lelap sekali tidurnya. Lalu alasan Zio mau berlari kecil di sekitaran rumah Abil juga karena ajakan sang papah mertua.
Dengan senang hati, Zio terima.
Tak cukup didiami oleh istrinya, Zio sudah pergi lagi sekarang. Terhitung sudah enam jam tak muncul juga kedua pria penting dalam hidup Abil.
Apalagi saat langit menampilkan cuacanya yang mendung, seolah akan segera menurunkan bulir-bulir hujan membasahi bumi.
Bohong, jika Abil tak khawatir.
"Mas Zio sama papah masih lama ya mah pulangnya?"
Melihat putri kecilnya disertai raut kekhawatiran, Tante Nani justru tersenyum ke arahnya. "Kangen juga kan sama suaminya, makanya adek jangan suka diemin suaminya ih!"
"Ya.. aku kesel mah, kenapa mas Zio ninggalin aku. Kenapa gak ajak aku, aku juga mau kalo diajak bepergian." Terang nya."
"Zio perginya sama papah, mungkin mereka sekalian mau ngobrol berdua."
Ya, seharusnya Abil tak perlu sekesal ini. Sebab keduanya juga tak lekas tiba saat khawatir itu timbul.
Untuk sejenak, aktivitas membantu mamahnya menyiapkan makanan itu terjeda. Ia mematung di depan kompor, lalu meraih ponsel dari dalam sakunya.
Dirinya sedang mendiami Zio, apakah wajar jika tiba-tiba mengirimi lelaki itu pesan?
Tentu tidak akan terlaksana, Abil terlalu enggan menurunkan gengsi barang sedikit. Akhirnya, hanya menggulir layar rponsel dan menatap roomchat bersama Zio saja. Tanpa mengetikkan sesuatu di sana.
"Di telpon aja kalo khawatir" suara mamanya menginterupsi, di iringi senyum jahil yang tertangkap oleh netra Abil.
Abil menekan profil sang suami, lalu mengembalikannya lagi. Sampai bosan dan rasanya tak akan salah jika ia menghubungi suaminya. Suaminya kan, bukan pria lain.
Oke, akan Abil hubungi.
Dengan berani, ia menekan simbol telepon di layar bagian atas lalu menampilkan profil lelaki itu dengan keterangan berdering di bawahnya.
Suara yang pertama ia dengar adalah suara abstrak yang entah berasal dari apa. Sepertinya, sang tuan memang tidak sedang berdiam diri hingga terdengar sedang bergerak-gerak.
"Dimana mas?" Dua kata itu membuat alisnya menekuk.
"Udah mau hujan, mendung banget, anginnya juga kenceng. Kapan pulang?!"
Tiada Abil dengan segenap kelembutan khasnya. Ia terdengar seolah sedang mengomel. Abil sedang khawatir, hanya saja sembari dibaluti kesal, jadinya seperti ini.
"Berisik banget sih di sana, lagi apa emangnya, mas di mana hah?"
"Mas di sini cantik.."
Seketika kepalanya terangkat, berpusat pada pintu dapur yang menampilkan pria bertubuh tinggi sedang berdiri di sana. Dengan lemparan senyum yang hebatnya membuat pundak Abil terasa ringan.
Ia menikmati senyuman itu, pun aroma manis yang khas. Perasaanya tak bisa ia tampik, ia memang mengkhawatirkan lelaki satu ini, dan tenangnya langsung bersarang dalam hati saat matanya menangkap jelas sosok Zio.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seni mengeja duka
RomanceBagi seorang pria dewasa, kabar duka lima tahun lalu membuatnya takut kehilangan lagi. Pun bagi gadis manis yang merasa satu tahun ini teramat lama prosesnya untuk menamatkan sebuah cerita kesedihan. Lalu bagaimana jika semesta mempertemukan keduany...