Ketidak sabaran Abil menjadi bagian dari kehidupan Zio sepenuhnya, akhirnya terwujud. Posisi itu sudah ada di tangannya, sudah sampai pada waktunya. Sudah resmi, sudah sah menjadi pasangan suami istri.
Selepas kemarin mereka menuntaskan rangkaian acara pernikahan di sebuah hotel.
Melangsungkan acara di hotel besar, membuat mereka mau tidak mau harus menikmati fasilitas tambahan, dengan di sediakannya kamar pengantin yang di dekor sedemikian rupa, indahnya.
Netra hitam pekat milik Zio disambut hangat oleh senyuman Abil yang sejak semalam sulit sekali tertidur. Sehingga pagi ini, ia bangun lebih awal dari lelaki yang berstatus sebagai suaminya.
Suami, Abil telah bersuami.
"Pagi mas.." sapanya berhasil membuat relung Zio menghangat.
Lelaki itu merubah posisi. Semula berbaring menjadi duduk di tepian ranjang. Sembari bersandar nyaman pada sanggahan kasur.
Abil mengikuti, bersandar pula di sana, di samping Zio lebih tepatnya.
"Badanku sakit, pegel." Curhat nya kemudian memijat bahu, "kemarin tamunya banyak banget sih."
Zio yang mempunyai kepekaan serta inisiatif tinggi menggeser tubuhnya, mengikis jarak agar tangannya sampai pada bahu Abil, tempat menyampirkan hijab baby pink yang kini masih ia kenakan. Gadis itu belum berani jika harus terang-terangan tak memakai hijab di depan Zio. Sampai tidurpun hijabnya masih ia kenakan semalam.
"Mas pijat ya"
Masih dengan baritone serak, khas orang bangun tidur. Lelaki itu bertutur dengan telapak tangan lebarnya mulai bergerak memijat pelan bahu dari tubuh mungil seorang gadis di hadapannya.
Mas?
Pria itu menyebut dirinya mas. Kemana kata saya yang biasa digunakan? Apakah sudah tidak berlaku sejak kemarin pria itu dengan lantang mengucapkan ijab kobul atas nama Abila Tanaya binti Firman.
Abil mengulum senyum, berusaha ia sembunyikan senyuman itu meski rona merah tentu terpampang di kedua pipinya.
Baru hari pertama menyandang status istri Zio, Abil sudah di buat bergetar hebat hatinya. Serta jantung yang ikut berpacu lebih kencang. Apalagi saat tangan itu benar-benar bergerak seolah ia ahli pijat.
"Mas Zio gak cape emangnya?" Tanyanya dengan sedikit menoleh ke samping, sebab untuk menoleh ke belakang dan mendapati wajah Zio itu tak mungkin. Terlalu sulit bergerak, tubuhnya tegang sejak tadi. Meski berusaha di rileksasi.
"Cape, sedikit. Lebih pegal kamu, karena pake gaun dan heels."
Bisa saja, menepis ketidak enakan Abil padanya.
"Semalam mas tidur nyenyak?"
Zio mengangguk, dan gesture tubuhnya bisa Abil rasakan. Lelaki itu berdeham meng-iyakan. Karena lelah menyerang, Zio benar-benar tertidur pulas meski dengan suasana kamar yang jauh berbeda.
"Aku susah tidur, mngkin karena belum terbiasa."
Tangan Zio berhenti bergerak, "kenapa gak bangunin mas, mas bisa temenin kamu." Katanya.
Senyuman simpulnya terukir lagi. Sepertinya setiap waktu, dan setiap mendengar lelaki ini berbicara, Abil pasti mudah tersenyum. Entahlah, senyuman itu lebih mudah diukir saat bersama Zio.
"Mas kan cape juga, mana tega aku bangunin kamu yang tidur pulas banget."
Zio terkekeh akhirnya, benar juga. Dibangunkan pun pastinya agak sulit. Sebab Zio benar-benar ngantuk malam tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seni mengeja duka
Roman d'amourBagi seorang pria dewasa, kabar duka lima tahun lalu membuatnya takut kehilangan lagi. Pun bagi gadis manis yang merasa satu tahun ini teramat lama prosesnya untuk menamatkan sebuah cerita kesedihan. Lalu bagaimana jika semesta mempertemukan keduany...