-Penolakan Abil

650 108 15
                                    

"Bil, maaf ya"

Kalimat yang sama sudah Zio ucapkan berulang kali. Seraya berusaha mensejajarkan kakinya dengan langkah kecil Abil yang begitu cepat.

"Iya mas Zio, ga papa. Santai ajah" jawab nya, namun tak kunjung peka dengan Zio yang sedikit mengejar tubuhnya.

"Itu kemarin, saya berusaha bikin adik saya buat gak ganggu kamu"

Sekilas menoleh, lalu kembali berjalan cepat. Abil tak punya banyak waktu untuk sampai di ruangan pak Wijaya. Demi sebuah tanda tangan yang ia nantikan sejak lama.

"Adik saya hobi gangguin perempuan cantik, saya gak mau kamu ikut-ikutan diganggu dia" terang Zio lagi.

Setelah berhasil masuk ke dalam lift, Abil baru sanggup menghembuskan nafas lega. Meski terdengar terengah-engah selama berjalan tadi. Bahkan ia atur pernafasannya, menarik oksigen sebanyak-banyaknya dan mengusap peluh dengan tisu yang diapit menggunakan jari.

"Jadi, aku cantik ya mas Zio?"

Pertanyaan tiba-tiba itu membuat Zio terlihat mematung kebingungan.

Maksudnya apa?

Zio tak langsung menjawab, ia diam dan memandangi Abil lama.

"Maksudnya, tadi kata mas Zio, Eksa hobi gangguin perempuan cantik. Berarti aku termasuk cantik dong karena diganggu Eksa kemarin"

Zio baru paham arahnya. Bibirnya melengkung seperti bulan sabit. Dengan kedua tangan yang berada dalam saku celana bahan.

"Kalo kamu ganteng, berarti kamu laki-laki bil"

Benar juga, Abil tidak bisa menyalahkan. Alhasil, ia terkekeh secara paksa mendengar jawaban Zio. Padahal ia hanya butuh validasi atas pertanyaannya saja, bukan jawaban yang lurus-lurus saja begitu.

Berada di dalam lift yang sama, hanya berdua. Jangan tanya kenapa Zio bisa bersama dengan Abil sekarang. Sebab semua ini sudah pasti cara Bu Irma mendekatkan keduanya.

Bu Irma meminta Zio mengantarnya ke kampus, lalu saat teringat Abil juga berada di kampus hari ini, Bu Irma memerintahkan putranya itu untuk menemani Abil yang hendak pergi ke ruangan pak Wijaya.

Katanya, agar Abil merasa aman pergi ke gedung baru yang ditempati pak Wijaya. Zio mengejarnya hingga saat ini mereka bersama.

"Mas Zio emangnya gak kerja?"

Zio menggerakkan kepala lagi melihat Abil, "saya kerja, ngisi art class sore nanti." Jawabnya santai.

"Usia berapa mas?"

"Lintas usia bil."

"Ada yang se-usia mas Zio gak?"

Mulut yang membungkam dan mata yang menatap Abil tajam. Bukan malah takut, Abil justru terkekeh melihat ekspresi Zio. Jika ditanya alasan keusilan Abil, ia sendiri juga tidak tahu.

Hanya saja, rasanya cukup untuk menghibur diri sendiri dengan membahas soal usia pada pria itu.

Abil menangkupkan kedua telapak tangannya, "mohon maaf mas Zio" ucapnya di sela tawa yang tak puas juga.

"Seneng ya kamu bahas soal usia saya"

Abil menegakkan tubuh yang sempat membungkuk karena sebuah tawa.

"Nggak kitu kok mas.."

"Terus gimana?"

Pintu lift terbuka. Membuat Abil merasa lega sebab tidak perlu menjawab pertanyaan pria itu.

"Udah yuk mas, cepetan! Aku mau ke ruangan pak Wijaya" ujarnya dengan langkah yang tergesa-gesa. Tidak peduli dengan Zio yang hanya bisa mengekori gadis itu kemanapun kakinya melangkah.

Seni mengeja dukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang