"Perihal kehilangan, gimana tanggapan mas?"
"Kehilangan siapa dulu?"
Meski agak ragu dan bimbang mengucapkannya, Abil sudah terlanjur membahas persoalan yang satu ini.
"Bunda misalnya, karena semua manusia punya batas waktu kan mas?"
"Betul, bunda juga sementara. Bunda juga titipan dari Tuhan yang harus mas lindungi dan bahagiakan."
Mata yang selalu menatap seseorang dengan lekat itu bergulir ke sembarangan arah, sengaja membuang muka, menghindari tatapan istrinya.
"Semisal bunda gak ada, mas pasti terima."
Ia menghela nafas dalam, "Tapi mungkin sedikit──gila."
Obrolan bersama Zio sebelum tidur malam tadi cukup mengganggu fokus Abil ketika sedang merevisi naskah buku yang akan naik cetak. Mungkin tidak akan menjadi seberat ini beban pikirannya, andai dokter onkologi toraks tidak menghubungi Abil mengenai penyakit bundanya.
Bu dokter
7 bulan terakhir ini Bu Irma akan semakin drop, pergunakan waktu yang ada untuk menemani Bu Irma ya mba!Tujuh bulan, lalu setelah itu?
Abil tidak tahu harus bagaimana selain memejamkan mata seraya melangitkan doa tiba-tiba. Ia meyakinkan diri sendiri, bahwa itu hanya prediksi dokter, bisa jadi ada keajaiban Tuhan yang menyelamatkan.
Ia menutup dahinya menggunakan telapak tangan lalu menumpu wajahnya menggunakan siku. Abil itu menyembunyikan hal besar, dihantui rasa bersalah tapi juga tidak tau harus bagaimana. Bahkan bercerita pada siapapun persoalan ini, ia tak cukup berani. Termasuk Deva si manusia kepercayaan yang ia sebut sahabat.
"Astagfirullah.." Abil mendesah, ia lemah. Menahan semua ini sendirian. Seperti hidup seorang diri saja di dunia ini. Terlalu banyak ketakutan kedepannya yang nyatanya baru sebuah prediksi.
Ibu jarinya bergerak memutari pelipis dan sesekali menekannya. Berharap peningnya hilang sejenak saja. Sebab ada pekerjaan yang perlu ia selesaikan.
Gadis itu memejamkan mata, hingga tak sadar seseorang telah menatapnya khawatir.
"Sayang?" Suaranya membuat mata indah itu mengerjap. Dilihatnya lelaki berkaos hitam dengan celana selutut sedang membawa air berwarna jingga lalu ditaruh di hadapannya.
"Pusing ya? Sini mas bantu."
Laptop nya ditarik paksa oleh Zio agar menghadap ke arahnya, kemudian tangan kekarnya beralih menyodorkan segelas es jeruk pada sang istri, "mau minum gak? Biar seger." Tawarnya.
Menarik, Abil menerima lalu meneguk perlahan jus jeruk yang dibawa Zio. Menenangkan sekali bukan, memiliki suami pengertian.
Intinya, marriage is scary itu tidak menimpanya sejauh ini.
Tak banyak obrolan, sebab Abil memang masih dalam mode hening usai memikirkan sesuatu yang mengganggu kepalanya, pun Zio yang fokus merevisi setiap diksi dari naskah sang istri.
Tidak berkegiatan lagi, gadis dengan hijab senada dengan warna baju itu menopang sebelah pipi menggunakan telapak tangan. Lalu sikunya kembali menumpu di atas meja. Memperhatikan pria yang sedang meng-otak-atik keyboard. Nyatanya begitu memanjakan mata.
Ketampanan seorang Reyzio naik berkali-kali lipat ketika sedang serius dan─dingin. Abil suka itu. Tanpa diminta, tanpa memohon, Zio selalu paham apa yang Abil butuhkan.
Jika mampu, rasanya ingin bersyukur 1000 kali sehari pun Abil sanggup sebab telah menemukan kehidupan sebegitu indah bersama pria di sampingnya.
Selepas membungkuk agak lama, Zio menegakkan tubuhnya kemudian kembali ke posisi semula. Membungkuk agar sejajar dengan layar leptop.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seni mengeja duka
RomansaBagi seorang pria dewasa, kabar duka lima tahun lalu membuatnya takut kehilangan lagi. Pun bagi gadis manis yang merasa satu tahun ini teramat lama prosesnya untuk menamatkan sebuah cerita kesedihan. Lalu bagaimana jika semesta mempertemukan keduany...