-Membuat lukisan pesanan Abil

739 116 10
                                    

"Bunda belum pernah bilang, kalo ternyata Abil itu pernah kehilangan seseorang yang cukup spesial buat dia." Protes Zio sesampainya di rumah.

Setelah ia tahan ocehannya, sebab tak mungkin mengungkit persoalan ini di depan Abil.

"Bunda punya alasan, mas Zio."

"Apa alasannya Bun?" Tanyanya seraya mendaratkan tubuh di atas tempat tidur Bu Irma. Zio mengekori Bu Irma sampai ke kamarnya, demi mendapatkan sebuah jawaban logis dari setiap pertanyaan yang ia ajukan.

"Karena yang bunda tahu, Abil itu sudah move on dengan masa lalunya."

"Masa lalu?"

Bu Irma menatap Zio yang sudah sangat antusias kelihatannya. "Iya, dia masa lalu Abil, terlepas dari hubungan apa di antara mereka, bunda kurang tahu. Tapi sepertinya mereka memang kelihatan saling mencintai."

"Dulu!" Tegasnya lagi.

"Almarhum meninggalnya kapan?"

"Satu tahun yang lalu mas, sudah lama kan? Pasti Abil juga sudah move on." Bu Irma berusaha meyakinkan Zio dengan komat yang dia punya.

"Kalo udah move on, kenapa Abil minta dilukiskan?"

"Mungkin hanya sedang rindu."

Mungkin, mungkin juga memang belum move on. Batin Zio menebak.

"Mas gak mau masuk dalam kehidupan perempuan yang masih stuck di masa lalunya Bun." Dengan tenang, ia berusaha mengutarakan penolakannya.

Jelas tidak akan mau, siapapun itu masuk ke dalam kehidupan seseorang yang masih mengungkit masa lalunya.

"Apalagi mereka pisah karena maut, Zio gak yakin bisa jadi lebih baik dari masa lalunya itu" kepalanya merunduk sempurna. Meski belum ia rasakan namanya cinta, tapi Zio mau berusaha meraih itu semua. Tapi, sayang. Keraguan datang sejak tadi, saat Abil menginginkan Zio melukiskan seseorang yang katanya special.

Dengan tangannya yang lembut, Bu Irma menopang dagu putranya. Kemudian mengangkat pelan wajahnya agar kembali menatap matanya.

"Mas Zio gak perlu menjadi lebih baik dari masa lalunya Abil, karena itu memang gak bisa kita prediksi. Akan tercapai atau tidaknya."

Tangan Bu Irma beralih menangkup di sebelah pundak Zio, "mas Zio hanya perlu menjadi lelaki baik versi mas Zio sendiri. Tidak usah berkaca pada siapapun. Mas Zio cukup berusaha semampu mas Zio untuk mendapatkan Abil."

Mendapatkan Abil, demi bunda. Lebih tepatnya.

"Bunda yakin mas Zio bisa?"

"Yakin nak. Bunda yakin sekali. Tapi semisal mas Zio punya seseorang yang lain, bisa mas Zio kenalkan pada bunda."

"Punya Bun punya!" Suara itu menginterupsi dari luar kamar Bu irma. Membuat Zio dan bundanya menoleh ke arah pintu. Lalu muncul seorang lelaki yang usianya terlihat lebih muda dari Zio.

"Mas Zio punya cewe kok Bun." Katanya lagi.

Tentu Bu Irma langsung menoleh pada Zio untuk menuntut jawaban sebenarnya. Sebab dari awal Zio bilang, ia tidak sedang menjalin hubungan dengan siapapun.

"Nggak ada Bun, mas tidak menjalin hubungan dengan perempuan manapun" jawabnya dengan sorot mata yang berusaha meyakinkan sang bunda.

"Mba Celine siapa mas? Waduh nggak diakui, kasian banget mbaknya" semprot lelaki yang masih menantang emosi Zio.

Lagi lagi Bu Irma menatap mata Zio, mencari kebohongan di dalam sana. Meski sulit sekali untuk ditemui.

"Celine siapa mas?" Kali ini Bu Irma sendiri yang mengajukan pertanyaan.

Seni mengeja dukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang