-Bersikap dingin

862 165 40
                                    

"Takut mas Zio benci sama aku karena aku tutupi penyakitnya bunda."

Nyalanya api amarah disertai perih dalam dadanya setiap kali suara lembut itu terngiang menusuk menyakiti relungnya. Ia mendengar langsung apa yang istrinya ucapkan. Haruskah bersyukur karena keinginan mencari sang istri yang tak lagi berdiri di depan ruangan membuatnya mengetahui semua fakta ini. Atau harus menyesali langkahnya yang tak sengaja membawanya ke depan salah satu ruangan.

Hati yang sudah ia susun rapih telah hancur berkeping-keping lagi, berantakan. Sama seperti saat kehilangan ayahnya dengan fakta terburuk yang ia terima.

Kali ini jauh lebih buruk, jauh lebih menyakitkan dan kecewanya berkali-kali lipat.

Telah menghabiskan banyak jam sejak ia mendengar obrolan Abil dengan papahnya sampai sekarang kembali malam selepas tahlil di gelarkan.

Tubuh yang ia perjuangkan setengah mati kebahagiaannya itu telah hilang. Tubuh yang ia dekap di saat terluka hatinya itu tak akan dapat ia lihat lagi wujudnya. Tubuh yang menyayangi serta mempersiapkan masa depannya itu telah kembali ke pangkuan penciptanya.

Bunda, telah menyatu dengan bumi.

Berbicara soal masa depan. Sejauh ini, bunda menyiapkan seseorang untuk menemaninya di kala bunda pergi. Bukan malah mengisi kekosongan dikala ia di serang rasa kehilangan mendalam, Zio justru merasa lebih dingin, lebih sunyi dan sangat berantakan jiwa yang ia usahakan untuk tetap tenang.

Zio sendiri, di dalam ruang kamar bundanya. Terduduk dengan tangis yang tak sanggup ditahan lagi. Meraung tanpa ada yang mengelus punggung nya kala ia runtuh seperti sekarang, sebab Abil tak akan berani menghampiri karena tubuh Zio seolah menghindarinya semenjak di rumah sakit malam tadi.

Netra hitam yang selalu teduh Abil dapati juga telah hilang entah kemana. Tatapan Zio tak pernah tepat di matanya lagi, lelaki itu membuang muka setiap Abil melihat ke arahnya.

Abil maklumi, kehilangan itu tidak pernah mudah kan untuk dilewati?

Apalagi Zio yang baru di tahap menerima kenyataan ini. Abil tahu rasanya, dan ia tak akan menuntut suaminya untuk berpura-pura baik-baik saja.

"Mba, mau masuk ke kamar mas Zio?" Eksa membuatnya terlonjak, sebab tubuhnya sedang memperhatikan Zio dari celah pintu kamar bundanya yang sedikit terbuka.

"Mba cuman mau antar makanan untuk mas Zio."

Makanan yang ia pesan secara online itu khusus untuk Zio, makanan kesukaannya. Udang asam manis yang belum sanggup Abil buat sendiri.

Eksa tanpa ragu mengetuk pintu kamar bundanya, membuat pria yang sedang duduk termenung di atas ranjang itu menoleh ke asal suara.

"Mba Abil mau antar makanan buat mas." Seolah hanya sekedar info tak penting ucapan adik lelakinya itu.

Reyzio menjatuhkan pandangan pada nampan yang berada di atas telapak tangan mungil istrinya. Tanpa sekalipun mengaitkan atensi pada Abil meski sebentar saja.

"Saya belum lapar."

"T-tapi mas belum makan apapun dari kemarin malam.." Timpal Abil.

Suara Abil, suara istrinya yang biasa membuatnya berdesir sebab candu untuk di dengar. Malam ini bagai benda tajam yang perlahan menyayat hatinya. Zio tak lagi menyukai suara itu.

"Simpan saja makanannya, nanti saya makan kalo mau."

Kali pertama hati Abil merasa terluka. Entah karena dilukai atau karena dirinya yang belum terbiasa menerima perubahan seorang Reyzio.

Ini bukan Zio yang biasa Abil kenal, bukan Zio dengan jiwa damai dan ucapan lembutnya. Bukan Zio yang suaranya selalu terdengar hangat. Bukan Zio yang setiap kalimatnya berharap membuat Abil jatuh cinta.

Seni mengeja dukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang