-Kekhawatiran yang ditenangkan

734 120 32
                                    

"Selamat mas!"

Merasa di ajak bicara setelah lama sunyi, pria di sampingnya menoleh, "untuk?"

"Untuk restu papahku yang mas dapat." Abil melempar senyumannya, teringat semua proses yang berhasil mereka jalankan malam tadi. Seperti sebuah drama yang pemerannya sukses bergelut di dunia sandiwara.

"Papah kamu baik, kalo boleh, saya ingin mengenal papah kamu lebih dekat" ujarnya seraya memperlambat langkah. Sehingga tak kesulitan bagi Abil mengejarnya.

"Boleh mas, aku juga dekat dengan bunda boleh-boleh aja. Begitupun sebaliknya, mas Zio juga boleh dekat dengan orang tuaku!" Seru Abil membuat Zio menarik sedikit sudut bibirnya.

Karena keringat mulai bercucuran dan lelah juga semakin terasa. Abil tak bisa memaksa kakinya untuk terus berjalan. Tanpa perlu meminta izin Zio, gadis itu duduk di samping jalan yang di kelilingi banyak sekali tumbuhan.

Tentu Zio mengikuti, tidak mungkin membiarkan Abil ditinggal sendiri. Meski fisiknya lebih kuat dan sama sekali belum merasa terlalu lelah.

Sebagai seorang lelaki yang akan mulai diberi kepercayaan oleh orang tua Abil dan juga bundanya, Zio akan selalu berhati-hati membawa gadis itu kemanapun akan pergi. Seperti saat ini, Zio memang mengajak Abil menikmati pagi. Di sekitaran taman olahraga terdekat dari tempat tinggal mereka.

Kesempatan, di hari libur. Pun salah satu usaha keduanya untuk saling dekat. Tentu Zio yang mengusulkan, dibantu bunda Irma yang menyegerakan. Akhirnya mereka berada di sini secara bersamaan.

Kakinya Abil luruskan, sampai pegal itu sedikit mereda.

"Ayah mas Zio sudah lima tahun meninggal ya?"

"Iya."

"Aku baru tahu" timpal Abil. "Soalnya bunda gak pernah cerita soal itu."

"Bunda gak akan pernah ceritakan soal ayah saya" seolah mampu menebak hal yang akan terjadi kedepannya. Padahal belum tentu begitu.

"Kenapa?"

"Karena ayah saya gak layak di ceritakan."

Abil yang serius menatap Zio dari arah samping hanya mampu mengedipkan mata berkali-kali. Seorang Zio yang sepenuh hati mencintai bundanya, saat ini sedang mengatakan suatu hal janggal perihal sang ayah.

Tentu saja Abil terkejut, menelisik sedikit saja perkiraan tentang kenapa Zio bisa bicara seperti itu padahal ayahnya sudah meninggal sejak lama.

Adakah kesan buruk yang ayahnya berikan kala beliau masih hidup?

"Persiapan sidang nya sudah mencapai angka berapa?"

Sadar sedang dialihkan, tapi Abil tak apa meski tidak sempat bertanya soal ayahnya Zio. Mungkin memang tak terlalu penting untuk diceritakan.

"Lima puluh persen mas" jawabnya, masih dengan posisi yang sama. Menatap Zio yang tak menatap balik ke arahnya.

"Saya bisa bantu apa?"

Semua kalimat yang Zio lontarkan itu cukup mengejutkan untuk Abil dengar. Seolah setiap ucapannya itu tak biasa. Selalu ada saja maksud baiknya.

"Apa ya? Kayanya gak ada deh mas."

Entah ketertarikan dari mana, Zio mulai menoleh ke arahnya, "saya bantu support dari dalam ruangan sidang kamu, boleh?" Tanyanya kembali membuat pasukan oksigen seakan tertahan untuk dihembuskan.

Benar kan, apapun yang Zio ucapkan itu sebelumnya tidak pernah Abil perkirakan. Kali ini mata mereka bertemu. Tatapan Zio yang──teduh membuat Abil terkesan nyaman melihat nya.

Seni mengeja dukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang