"Tambahkan air secukupnya.."
Manusia yang pagi buta sudah rapih itu membawa segelas air bersih. Lalu menuangkannya pada wajan."Tambahkan saos tomat, saori, garam, gula, merica daan penyedap rasa.." semua yang ia sebutkan, dituangkan pula ke atas wajan. Lalu mengaduk semua bumbu yang sudah tercampur di dalamnya.
"Nah, sekarang masukan udang."
Udang-udang segar yang Abil pesan sungguh menggoda sekali tampilannya. Ia sampai meneguk ludah sendiri ketika mengaduk seluruh isi wajan dengan spatula di tangannya.
Pagi ini, ia beranikan diri. Sebuah pencapaian terbesarnya sekarang, hampir menyelesaikan udang asam manis yang dulu pernah di resep kan bunda. Semoga saja rasanya bisa semirip masakan bunda, meskipun tak akan lebih enak dari bunda Irma.
Ia memindahkan masakannya pada kotak makan yang sudah di sediakan di atas meja, lalu menutup tempat itu dengan rapat. Paper bag yang sudah di isi oleh nasi buah secukupnya ditambah lagi dengan sekkyak udang asamanjs yang ia bekalkan untuk suaminya.
Ya, Abil bangun pagi demi bertemu Zio sebelum berangkat ke studio lagi dan lagi. Biasanya, hampir tidak ada waktu temu, sebab saat matanya terbuka, Zio pasti sudah berangkat. Pagi ini ia berhasil, kedengarannya Zio belum keluar dari kamar bundanya. Sedangkan Abil sudah rapih, wangi, segar dan sudah selesai memasak pula.
Salah satu agendanya hari ini adalah berkunjung ke kantor penerbitan guna menandatangani kembali buku cetakan kedua yang akan segera di keluarkan.
Suara kusen yang bergesekan dengan pintu terdengar membuatnya segera menoleh. Mendapati suaminya mulai berjalan ke arah pintu depan.
Ia sedikit berlari agar langkahnya bisa di samakan dengan tubuh Zio, "mas mas tunggu!"
Pria berpunggung kokoh itu menghentikan langkahnya, ia terkejut melihat Abil dengan kebiasaan barunya. Sepagi ini, wanitanya telah indah dipandang. Tapi nyatanya, Abil memang selalu indah dilihat.
"Ini mas, tadi aku masak. Tolong di bawa ke studionya mas ya"
Di dalam netra hitam pekatnya, permohonan itu terlihat jelas. Sepagi ini Abil telah selesai memasak. Sedangkan biasanya, sarapan terhidang sebab memesan masakan online, atau sekedar menghangatkan saja.
"Aku izin ya mas, hari ini ada kegiatan di kantor penerbit. Mau tanda tangan buku cetakan kedua." Senyuman Abil menghangatkan paginya yang dingin.
"Oh iya, aku seneng banget ternyata buku itu banyak peminatnya. Makasih ya mas" Abil refleks meraih sebelah tangan suaminya, lalu dikecup beberapa kali sebagai tanda terimakasihnya yang amat serius.
Wanitanya tidak berubah, tetap excited setiap berhadapan dengannya. Tetap antusias membicarakan hal apapun padanya, tetap dengan rautnya yang manis nan ceria. Meski dirinya sudah sedingin kulkas dan menghindari interaksi berdua.
"Kalo ada event lagi, mas ikut ya. Aku mau tunjukkan pada pembacaku bahwa mas ini motivasi terhebat buat aku!"
Pantas?
Zio tak merasa begitu. Dari emosional yang belum bisa ia kontrol semenjak di lingkupi duka. Zio merasa menjadi suami tak berguna. Tapi juga sulit berpura-pura sembuh begitu saja.Bayang-bayang Abil yang menutup rapat mulutnya perihal penyakit itu, selalu membuatnya kecewa dengan ekspektasi yang tak sampai. Zio berandai, jika saja Abil lebih memilih membuka mulut pada Reyzio tentang penyakit itu. Reyzio berjanji akan memohon pada bundanya untuk tidak membenci Abil karena telah membocorkan semua yang ia rahasiakan. Sayangnya, hanya sebatas angan.
"Saya berangkat. Terimakasih bekalnya." Kenapa? Setiap melihat Abil selalu terlintas bagian yang tak ingin ia ingat lagi.
"Sama-sama mas." Abil menyerahkan paper bag-nya, lalu menyaksikan tubuh tinggi itu menjauh dari hadapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seni mengeja duka
RomanceBagi seorang pria dewasa, kabar duka lima tahun lalu membuatnya takut kehilangan lagi. Pun bagi gadis manis yang merasa satu tahun ini teramat lama prosesnya untuk menamatkan sebuah cerita kesedihan. Lalu bagaimana jika semesta mempertemukan keduany...