"Abila Tanaya, sarjana ilmu komunikasi"
Om Firman dan tante Nani tentu saja menatap putri bungsunya dengan bangga. Keberhasilan menyelesaikan pendidikan itu bukan suatu hal mudah. Bahkan ketika di dalamnya sempat ada ujian berat yang hampir menghentikan langkah Abil. Tapi Abil berhasil lalui itu semua.
Dua orang penting yang hadir di sana, membuat Abil segera melangkahkan kaki dengan cepat. Menghampiri keduanya, lalu memeluk secara bersamaan beserta kecupan silih bergantian yang Abil dapatkan dari mamah dan papahnya.
Pemandangan indah itu tak lepas dari tatapan lekat Zio, yang juga menatap seraya tersenyum bangga pada gadis yang sudah beranjak dewasa.
"Putri papah.." om Firman tak sanggup melanjutkan ucapan ketika tenggorokannya tercekat. Ia berusaha menahan lelehan air mata haru agar tak tampak terlihat oleh putrinya.
"Putri mamah sudah dewasa, sudah berhasil menyelesaikan pendidikannya." Puji Tante Nani di tengah isak tangisnya. Sembari beberapa kali mengusapkan tisu pada wajahnya yang mulai basah oleh air mata.
Rasa syukur itu penuh dalam ruang hatinya, hingga tak ada alasan untuknya berkeluh di hari ini.
"Ka Caca dimana mah, pah?"
"Di luar, sama bang Dim." Jawab om Firman dengan arah mata yang diikuti oleh Abil.
Bukan Caca yang ia temui oleh bidikan matanya. Tapi Zio yang dengan gagah berdiri. Menggunakan setelan formal beserta jas yang sangat pantas dikenakan pada tubuhnya.
Meski jaraknya jauh, tapi senyuman pria itu terlihat amat jelas di mata Abil. Sampai tangannya bergerak menitipkan beberapa benda yang ia pegang pada papahnya. "Pah, aku ke depan sebentar ya."
Kemudian sedikit mengangkat rok kebaya lalu berjalan cepat ke sana.
"Hati-hati!" Pekik Zio yang justru khawatir Abil jatuh sebab berani sedikit berlari menggunakan sepatu ber-hak tinggi.
Ah, Zio tidak tahu saja. Gadis itu sudah lihai mengenakan sepatu tinggi meski sembari berlari.
Setelah jarak semakin dekat, barulah Abil sadar. Bahwa mendekap Zio itu tidak mungkin. Teruntuk itu, ia pelankan langkahnya.
Hingga tubuh yang gagah berdiri itu ada di hadapannya.
Kedua tatapan mata yang sama indahnya saling menatap.
"Selamat atas kelulusan mu, saya bangga sekali melihatnya."
Dan Abil selalu menyukai setiap intonasi penuh kelembutan dari seorang Zio.
Bibir merah meronanya tersenyum, bersaman dengan mata yang ikut menyipit. "Makasih mas Zio.."
Cantiknya. Abil dengan hijab segi empat beserta toga di kepalanya, "kamu cantik." Puji Zio refleks.
Tak bisa berbohong, Abil tersipu mendengarnya.
"Oh iya, jangan di pintu masuk. Kita duduk di depan gedung, mau?"
Abil menyetujui tawaran itu. Melangkah lah kakinya mengikuti Zio. Meski dengan memandangi punggung Zio saja bisa membuat hati Abil berdesir. Kesempurnaan fisik itu pastinya membuat siapapun wanita yang melihatya dengan terpana.
Tapi herannya, Zio tidak ingin belajar jatuh cinta. Kecuali dengan Abil, katanya.
"Adek!"
Panggilan langka dan hanya orang tertentu yang biasa melontarkannya. Kepala yang masih memakai toga itu menoleh, mencari asal suara. Hingga ia temukan satu wajah yang telah lama tak tertangkap matanya.
"Kak Liyan!" Spontan saja ia berteriak dan seketika lupa dengan pria di hadapannya. Tubuhnya menyerong ke samping kanan lalu sedikit berlari hendak masuk dalam dekapan Liyan yang sudah pria itu persilahkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seni mengeja duka
Любовные романыBagi seorang pria dewasa, kabar duka lima tahun lalu membuatnya takut kehilangan lagi. Pun bagi gadis manis yang merasa satu tahun ini teramat lama prosesnya untuk menamatkan sebuah cerita kesedihan. Lalu bagaimana jika semesta mempertemukan keduany...