empat; ada-ada aja

41 6 95
                                    


🧶 тαηgℓє∂ 🧶


Minggu pagi, hari paling malas sedunia selain senin pagi. Karena di minggu pagi, banyak hal yang harus dikerjakan termasuk ke pasar.

Seperti halnya yang Nina lakukan saat ini, pergi mengantar Ibunya ke pasar yang tidak pernah sepi. Memang bukan pasar becek seperti yang kalian bayangkan, namun sesak di dalam karena banyak orang membuat Nina merasa enggan ikut.

"Bu, aku tunggu di parkiran aja, ya?" Nina membujuk Ibunya, bahkan ini sudah kesekian kali.

"Ya jangan dong, ngapain di luar? Mau jadi tukang parkir?"

"Sumpek, Bu."

"Sebentar aja lho, Nin. Nanti siang nggak usah keluar kamar deh, nggak usah ketemu tamu-tamu."

"Aku main aja kalau gitu, boleh?" tawarnya.

"Boleh, tapiㅡ"

"Sendiri. Nggak mau ajak Yaya," potong Nina.

Ibu terlihat menghela napas. "Ya udah,"

Nina pun tercengir lebar mendengar jawaban pasrah Ibu. Lagipula dia ingin main dengan bebas tanpa Yaya. Tapi bukan berarti dia tidak menyukai main bersama Yaya, lho.

Gadis itu pun mengikuti sang Ibu di belakang, mampir ke banyak kios di dalam pasar untuk membeli keperluan masak untuk tamu siang nanti.

Kebetulan Ayah Nina adalah dosen senior di salah satu kampus Negeri, dan hari ini ada acara kumpul alumni mahasiswa yang dulunta diajar oleh Ayahnya.

"Mau es campur nggak, Nin?" tanya Ibu.

"Mau!"

"Yuk, mampir situ dulu." Ibu mengajak Nina ke kios es campur langganan.

"Wah, penuh, Bu." Kata Nina usai tidak terlihat ada meja kosong.

"Sebentar," Ibu menyerobot masuk, lalu menghampiri sebuah meja yang memiliki 2 kursi di kolong. Tidak terlihat memang. "Mas, ada yang nempatin nggak ini?"

"Oh, nggak ada, Bu." Terlihat laki-laki itu menarik kursi. "Silakan, Bu."

"Oiya untuk anak saya, satu lagi boleh?"

"Boleh, Ibu. Maaf itu belanjaannya taruh sini aja dulu," kata mas-mas di seberangnya.

"Makasih banyak ya, mas." Kata Ibu, kemudian Nina dipanggil untuk mendekat. "Duduk sini dulu, Ibu mau pesenin es dulu."

"Aku nggak pakai rumput lautnya ya, Bu."

"Iya."

Ibu kembali ke penjual, sementara Nina duduk di sebelah mas-mas tadi. "Permisi ya, mas." Ucapnya pada yang di depan dan di sebelahnya.

"Mari, mbak... eh??"

Seketika kening Nina mengernyit. "Lah??"

Laki-laki itu tersenyum kikuk. "Hehe... Sadam, mbak." Ia mengulurkan tangannya pada Nina.

Gadis itu terlihat bingung. Ia memang tidak lupa siapa orang ini, namun siapa sangka kalau malah diajak berkenalan setiba-tiba ini.

"Dam, orang tuh Assalamu'alaikum dulu gitu, lho." Kata teman Sadam yang duduk di seberangnya.

Sadam menggaruk kepalanya, padahal tidak gatal. "Assalamu'alaikum, mbak."

"Ck! Kenapa sih?" Nina terlihat semakin mengernyitkan keningnya.

"Maaf ya, mbak, temen saya ini emang agak aneh. Cuekin aja, mbak." Kata yang satu.

Nina mengangguk, lalu mengeluarkan ponselnya. Di situasi seperti ini, yang Nina butuhkan hanyalah sok sibuk. Sudah. Sambil menunggu Ibu kembali dan ia santap es campurnya.

TANGLEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang