5. My Heart

445 33 29
                                        

"Silakan dinikmati ubinya, ya, Bu dokter?" Seorang wanita tua menyuguhkan umbi-umbian yang telah dikukus, di pondok sederhana tempo lalu yang digunakan Aksata dan teman-temannya merebus mie instan.

Jaisy tersenyum sambil berterima kasih kepada wanita yang dikenali sebagai Nenek Arya. Orang selembut itu harus menangisi cucunya setiap waktu, salah satu alasan kenapa Aksata ingin mendirikan rumah sakit di desa ini adalah Arya. Jarak tempat ini dengan kota sangat jauh, biaya rumah sakit sudah cukup melambung tinggi, tidak mungkin tinggal di kota dengan kondisi mereka yang seperti ini. Namun, Arya dapat mati kapan saja jika tak lekas mendapatkan perawatan. Nenek sangat berterima kasih kepada Aksata yang ingin tetap membuat temannya hidup, rumah sakit ini dicintai semua orang di Mandira, sebab mengapa wanita berkebaya tradisional itu ikut andil merawat Aksata jika anak itu membutuhkan pijatan.

"Humm, ini enak, loh, Aksata!" seru Jaisy lantas menyodorkan ubi yang baru saja digigit Jaisy ke mulut Aksata.

Aksata diam, memperhatikan Jaisy dan ubinya. Jaisy buru-buru sadar kalau di antara mereka semua Aksata adalah orang yang paling higienis, dia menepuk keningnya pelan, padahal dia dokter.

Jaisy memberikan yang baru.

Aksata mengambil ubi dari tangan Jaisy, sejujurnya dia sedikit canggung dan kikuk karena perawatan Jaisy kemarin. Sesakit apa pun dia selama ini, sepertinya tidak pernah ada servis peluk dari dokter.

Dafa dan Arya bersenggolan sambil tersenyum-senyum meledek dua orang yang sepertinya sedang terlibat perasaan asmara.

"Rasanya menjalani hidup yang normal gimana, ya?" Dafa bersandar pada pilar pondok, menatap bulan dan bintang yang bersinar terang di langit malam.

"Normal itu monoton, kita bisa melakukan banyak hal seru di Mandira. Meski kalian harus bayar dengan rasa sakit," ujar Jaisy penuh sesal. Di antara ketiga anak ini, tidak ada yang punya penyakit biasa. Semuanya seperti bom waktu yang bisa meledak tanpa diketahui kapan saatnya.

"Tebak di antara kita bertiga siapa yang mati dulu?" celetuk Dafa lagi, Arya dan Aksata menanggapi dengan tawa.
Lelucon gelap itu selalu terlontar tiba-tiba dan orang-orang hanya menganggapnya sebatas pengundang tawa.

"Aksata, sih," ujar Arya sambil tertawa menunjuk wajah Aksata yang tidak terima.

"Gimana bisa penyintas kanker percaya diri banget ngomong gitu?" tanya Aksata yang memasang wajah beraninya, tapi membuat Arya tertawa lebih kencang. Dafa juga tertawa, tapi Jaisy takut.

Ia menunduk, ubi di tangannya sama sekali tidak dapat dia telan lagi. Perasaannya terlalu lembut untuk mendengar ini semua, ia tidak ingin salah satu dari teman-temannya di Mandira mati.

"Jes?" tanya Aksata, menepuk punggung Jaisy yang bergetar. Emosinya begitu buruk karena dia masih tergolong muda, dia larut dalam candaan Dafa.

"Bisa nggak, di antara kalian nggak usah ada yang mati?" Wajah Jaisy merah, air matanya turun membuat ketiga pemuda itu merasa bersalah.

"Kalau sakit, aku janji bakal ngelakuin sebisaku buat nolong kalian. Meski kemampuanku masih nggak seberapa, aku mau semuanya sembuh. Aksata, Arya, Dafa, aku yakin ada obatnya," ujar Jaisy terbata-bata karena terhisak parah.

Aksata membawa Jaisy ke dalam pelukannya, menepuk-nepuk punggung Jaisy yang begitu takut kehilangan mereka yang baru dikenal tak genap dua pekan.

***

Suasana yang sedikit dingin karena gerimis menerjang Mandira sejak dini hari. Arya tadinya ingin mengajak Aksata untuk pergi ke perpustakaan desa, ia punya buku-buku baru untuk diletakkan di sana agar seluruh masyarakat di sana punya banyak pengetahuan yang meningkat. Akan tetapi, Nenek menyuruh Arya membawakan sup ayam yang terasa otentik karena resep asli desa ini.

Titimangsa ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang