19. Entire Life

267 35 16
                                    

Dafa dengan tas punggungnya yang hanya diisi sejumlah uang dan obat-obatan datang ke Mandira dengan kereta, mobil yang akan memasang harga fantastis untuk sekali bawa, membuat anak itu merasakan tubuhnya mengajak beristirahat. Namun, tidak! Entah mengapa rasanya harus segera bertemu dengan Aksata untuk berdamai.

Rambut Dafa yang hitam memantul karena empunya sedang berlari ke rumah sakit, mencari-cari di mana Aksata berada. Faktanya, Aksata sedang tertidur cukup pulas dengan infus IVIG yang bahkan tidak bisa menyembuhkan Aksata.

Napas Dafa keluar masuk, ia menyerah. Tiba-tiba rasanya dadanya bergemuruh, sangat sakit melihat sahabatnya berbaring tanpa mendengarkan napasnya terlebih dahulu.

"Daf?" Itu suara Arya, ia terkejut bahwa Dafa ada di sini padahal hari ini dia punya jadwal yang menyangkut hidup dan mati di pusat kota.

Dafa kembali berlari ke luar rumah sakit tanpa menghiraukan Arya. Tentu, sebagai sahabat Dafa pemuda berwajah cenderung menggemaskan itu mengerti bahwa tidak seharusnya Dafa berlari. Ia mengejar Dafa, tidak peduli ke mana arahnya ia akan menginjak kembali jejak Dafa.

Napas keduanya memburu, mereka bukan atlet lari sama sekali. Di danau yang mereka kunjungi sebulan lalu, waktu perjanjian pemakaman mereka.
"Lo nggak perlu begini, Daf. Ata juga tahu lo sakit, dia ngerti lo harus berobat di tempat yang jauh."

"Lo pasti tahu rasanya takut besok mati atau salah satu dari kita yang mati, kenapa Aksata satu-satunya yang nggak punya harapan?" Dafa terduduk di bawah pohon. Meratapi fakta bahwa tubuh Aksata sudah sangat rusak, jantungnya sangat rusak, pertemanannya rusak.

"Bodoh banget ya gue? Aksata itu satu-satunya keberuntungan yang dikirim Tuhan buat gue." Dafa tertawa sumbang, Arya andil merasa bersalah.

"Ini karena gue juga, Daf. Maaf!"

***

Hari berikutnya yang harus dijalani, Aksata tengah melakukan kegiatan yang begitu melelahkan. Berbaring dengan nassal canulla adalah kegiatan yang dimaksud, berbarinng setengah sadar dengan sensasi remuk di mana-mana. Bahkan dia tidak sudi merintih saking mencoba berdamai dengan kepalanya yang pusing, dada yang sakit, persendian yang terasa hampir lepas. Penyiksaan yang sempurna.

"Hari ini mau jalan-jalan?" tanya Jaisy sambil membenarkan selimut Aksata yang berantakan karena semalam sang empu menggeliat tak karuan.

"Be ... sok a ... ja." Entah besok masih ada atau tidak bagi Aksata, hari ini dia tidak ingin bergerak.

Jaisy membuka tirai dan jendela, Aksata menutup kembali kelopak mata yang bahkan ikut terasa sakit.

"Sayang buka matanya!" seru Jaisy dengan lembut, berlahan Aksata membuka matanya kembali. Melihat kupu-kupu biru berterbangan di sekitar ranjang Aksata.
Aksata menoleh ke arah jendela. Dua temannya di sana, tersenyum sambil melambaikan tangan dengan ceria. Jendela dipenuhi dengan bunga, bermekaran dan dihinggapi kupu-kupu.

Apakah ini kematian? Aksata tersenyum dengan lelah.

"Aksata hari ini cuacanya bagus, ayo jalan-jalan!"

Aksata sudah tidak bisa menikmati Mandira perihal kesehatannya yang kian turun. Dafa dan Arya membawa seluruh komponen Mandira ke dalam rumah sakit agar Aksata bisa melihat kupu-kupu biru yang hanya akan muncul di saat-saat tertentu.

"Tulip Bu Jasmin sudah tumbuh dengan baik!" Jaisy tersenyum, menaruh beberapa tulip berwarna merah jambu lalu diletakkan di atas vas kaca berisi air pegunungan asli Mandira.

"Ceri di depan rumahmu!" Arya datang dengan sekranjang ceri.

Dafa kemudian membawa tangan Aksata ke dalam genggamannya, menyelipkan sesuatu untuk tangan dingin tanpa rona.

"Semoga lo selalu beruntung, Ata." Dafa berkata serius, yang terkasih membuka tangannya melihat gelang dengan hiasan semanggi daun empat sintetis.

"Gue nggak bisa nemuin semanggi di mana-mana, jadi gue beli di syopi." Dafa membuang wajahnya, malu dan gengsi teraduk jadi satu.

Aksata memperhatikan gelang hitam itu lekat, aksesoris berbentuk semanggi itu lucu.

"Iya gue tahu itu murah, tapi ongkir sampai Mandira itu yang mahal!"

"Thanks," lirih Aksata, tersenyum sampai menitikkan air mata.

***

Mandira, 7 Februari 2024

Catatan Dafa!

Gue ketangkap dan dipaksa untuk operasi!
Untungnya gue udah sempat berdamai dengan Aksata, dia baik. Gue senang dengan momen terakhir sebelum gue diangkut paksa ke Jakarta buat taruhan nyawa. Suatu saat semoga ada cerita yang sampai di telinga anak cucu kita, jika ada trio nggak jelas hidup di Mandira. Saran nama geng kita serahkan ke mereka!

Apa kita punya cucu ya, Ta? Rasanya bertahan sampai hari ini adalah tantangan yang semakin berat setiap hari.

Baiklah kita ceritakan saja soal hari ini! Siapa pun, entah gue, Aksata, atau Arya.

Baiklah kita ceritakan saja soal hari ini! Siapa pun, entah gue, Aksata, atau Arya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

**^

"Gue masih pengen di Mandira."

"Operasi dulu, Daf. Balik lagi ke sini kalau udah sehat, gue tunggu." Suara Aksata lebih kecil karena tubuhnya tak benar-benar fit, ke sini pun memerlukan bantuan punggung Dafa.

Arya dan Jaisy sedang menata tempat piknik yang tak jauh dari rumah sakit agar tak memiliki banyak resiko.

"Janji? Lo bakal bertahan sampai gue ke sini lagi?" Aksata mengangguk jari kelingking Dafa dan dirinya bertaut.

***

 Ga komen ak ghosting 😋

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Ga komen ak ghosting 😋

Titimangsa ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang