6. Clover

363 34 27
                                        

Pada dasarnya tidak semua orang ingin menjadi dokter di Mandira. Dokter-dokter terbaik hanya akan berkarier di tempat yang menjanjikan. Di rumah sakit besar dan tidak terasingkan dari peradaban seperti Aksata Medika.

Tapi yang mau bertugas di sini adalah dokter-dokter yang putus asa, dokter muda, atau dokter yang ingin menikmati masa sebelum pensiunnya di Mandira.

Seperti dr. Aya yang merasa patah hati tidak bisa menyelamatkan banyak orang sewaktu bertugas. Membuat dirinya sendiri meragukan apakah dia punya cukup kemampuan untuk dipanggil dokter? Dan dia harus melakukan ini lagi di waktu yang dekat.

Jaisy menepuk pundaknya, mengatakan hal yang dia lupakan selama ini. Tidak ada yang rela kehilangan anak semanis Arya, tapi akan lebih disayangkan apabila dia harus pergi selamanya.

"Apa kamu percaya, Jaisy?"

"Aku berharap."

***

"Arya lagi sakit kita ngapain di sini?" tanya Aksata, persahabatan mereka memang hanya dilatar belakangi oleh penyakit selama ini. Heran jika di saat-saat seperti ini Dafa malah mengajaknya ke sungai.

"Kalau kita di sana, kita sedih, kita stres, kita bakal dirawat bareng. Kasihan Jaisy bingung harus jenguk siapa dulu yang nomor dua."

"Maksudnya?" tanya Aksata.

"Ya karena pertama pasti rawat lo dulu hahaha." Tawa Dafa itu indah, Aksata ikut tersenyum saat deretan gigi itu terlihat.

"Maksudnya kenapa kita ke sini?" tanya Aksata sekali lagi, memastikan karena sepertinya Dafa ingin mencari sesuatu di bibir sungai yang begitu jernihnya membuat tanaman yang tumbuh di sekitar sungai terlihat sehat, semuanya lebih sehat dari Aksata yang terlihat pucat dan Dafa yang seputih mayat.

"Kemarin Arya minjemin gue buku, ada yang bilang kalau semanggi daun empat itu bisa dipake buat ngasih keberuntungan. Gue mo cari buat Arya," ujar Dafa, dia terlihat serius memperhatikan gerombolan semanggi yang tumbuh liar di sebelah sungai sampai ke dataran bukit Mandira.

"Dafa, lo udah gede masih percaya yang gituan."

"Selama ada harapan, dibohongin juga gue turutin. Namanya orang usaha biar orang yang berharga nggak mati," ujar Dafa, tangannya membelai tumbuhan itu hati-hati.

"Yaudah cari tiga, biar kita bertiga bisa sembuh," ucap Aksata lantas menyisir gerombolan semanggi yang lain.

Sesaat Dafa mengalihkan pandangannya ke Aksata, dia tersenyum lalu sejenak merasa bersyukur karena memiliki teman sebaik hati Aksata.

Pandangan Aksata aneh, dia tidak bisa melihat dengan jelas. Mana yang berdaun empat dan mana yang berdaun tiga, semuanya nampak ganda.

Pemuda itu menggelengkan kepala, mencoba membenarkan penglihatan matanya.

"Daf."

"Kenapa? Udah ketemu?" tanya Dafa, tidak ada apa-apa di tangan Aksata. Namun pemuda itu tidak terlihat baik.

***

Aksata lari ke dalam rumah kayunya, beberapa kali menabrak perabotan rumah yang sepertinya tak tertangkap jelas oleh netranya. Penglihatannya rancu, ia mencari obat dalam laci. Frustasi dengan apa yang terjadi, Aksata bergumam.

"Tolong, tolong jangan mataku!" Aksata menangis. Air matanya jatuh begitu juga dengan kelopak matanya yang tiba-tiba menutup, tidak dapat dibuka.

Tangan Aksata gemetar, kaca di depannya sama sekali tidak memperlihatkan Aksata. Jika cermin bisa berbicara, maka dia akan mengatakan bela sungkawa terhadap Aksata.

Titimangsa ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang