22. Mandira Plant

291 33 34
                                        

"Jaga diri baik-baik, ya, menantu Mama?" Sebuah pelukan di dapatkan. Menantu adalah nama panggilan yang seharusnya membuat Jaisy senang. Namun, karena harus meninggalkan Aksata dia sedih.

"Jagain cewek gue!" Aksata menepuk punggung Arya yang sudah menangis karena tidak mau berpamitan dengan Aksata. Kehilangan Dafa membuat Arya tidak yakin untuk melangkahkan kaki meski hanya sejengkal.

Jaisy sedih, apa benar dia harus meninggalkan Aksata yang bahkan mengantarkan perpisahan mereka dalam keadaan diinfus. Hampir setiap hari Aksata menjadi penghuni rumah sakit, terkadang tak bisa berjalan, terkadang tidak bisa bernapas, siklusnya selalu berulang dengan acak.

"Ata di sini yang sehat, ya? Aku pasti kembali meski ga bisa janjiin apa-apa." Jaisy memeluk tubuh pacarnya yang sangat tipis, kurus tergerus penyakit.

"Janji aja bakal lulus tepat waktu biar bisa gantiin dr.Satya di sini. Its okay, aku nggak akan kemana-mana." Aksata mencium kening Jaisy, gadis itu berharap Aksata tidak berbohong. Semoga dia tidak kemana-mana sampai kapan pun.

***

Kereta membelah jarak, menjauhkan antara Jaisy dan Aksata, Arya dan Mandira. Berlahan penghijauan berubah menjadi perkotaan.
Jaisy membuka bukunya, dia menulis banyak cerita sewaktu di Mandira.

Perbatasan Mandira, 27 Februari 2024

Tiga bulan, tapi banyak cerita yang aku abadikan. Entah kenapa hidup di Mandira terasa lama, setiap dua puluh empat jam seperti terasa berbeda. Mungkin ini alasan anak-anak sakit ingin hidup di sana sampai tiba waktunya. Meski sakit, mereka harap bisa merasakan dunia lebih lama.

Dafa, apa benar kamu sudah menemukan kebebasan? Dadamu pasti terasa lega. Arya banyak murung dan melamun karena kamu sangat berarti untuknya.

Dafa, aku nggak tahu apa yang dirasakan Aksata. Dia tidak terlihat terguncang, dia masih Aksata yang biasanya. Itu semakin membuat aku takut, takut bahwa dia tidak benar-benar sebaik itu. Dia tidak bereaksi pada kemarahanmu, kematianmu. Apa dia benar-benar tidak menganggapmu penting? Dia juga biasa saja saat aku tinggalkan.

Takutnya, dia membiaskan diri ditinggalkan orang lain karena bersiap juga untuk meninggalkan.

*

**

"Aksata, hari ini nggak usah mandi dulu, ya? Suster bantu lap." Rutinitas Aksata yang baru, sendirian di ruang rawat Aksata Medika.

Berbulan-bulan tak berjumpa dengan Jaisy atau Arya, Aksata hanya diam dan bernapas di atas ranjang. Sesekali melihat ke arah jendela, itu pun kalau fungsi matanya sedang bekerja. Terkadang Aksata buta sampai mendapatkan asupan obat yang cukup.

Suster yang sudah seusia ibunya itu dengan hati-hati menyeka bagian tubuh Aksata yang ringkih, seminim mungkin menyentuh kabel-kabel di atas tubuhnya.

"Ata, hari ini IVIG ya?" tanya Ibu saat baru saja masuk ruangan, kasihan melihat anaknya yang seperti sebuah mayat hidup.

Aksata membuang wajahnya, ia tidak bisa merasakan sensasi yang lebih sakit lagi. Ini sudah lebih dari cukup, ia ingin segera mati.

Ibunya sampai memohon, meremat tangan Aksata yang dingin. Tidak bertenaga dan terasa sekali rapuhnya, Natalia sudah berbulan-bulan meninggalkan kota karena ingin fokus kepada Aksata. Anak itu harus merasakan rasanya menjadi seorang anak sebelum pergi.

"Kalau bukan untuk Mami, seenggaknya untuk Jaisy. Tolong jangan ke mana-mana, Ata!"

Aksata menghela napas, lelah. Tabuhnya dalam keseluruhan nyeri tak tertahankan, ia rasa mati ribuan kali lebih baik dibandingkan bertahan. Untuk Jaisy, ia rasa ia cukup cinta. Namun, hidup hanya akan membuat beban besar bagi gadis yang tulus, rela menjadi pendonor darah setiap saat dan ragu pada pilihan pertamanya menjadi seorang dokter yang keren.

Titimangsa ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang