15. Fatal Trouble

297 32 35
                                        

"Arya, tolong antarkan buah ceri ini buat Ata. Dia suka ceri, 'kan?" Nenek Arya memberikan sekeranjang terbuat dari rotan, menggunung buah ceri segar.
Sang generasi ketiganya masih berkutat dengan buku di kamar, tidak tertarik dengan obrolan ceri sama sekali.

"Ngapain dikasih, sih? Di depan rumahnya, 'kan ada pohon ceri."

"Dia pasti nggak sempat metik, beberapa hari ini Ata, 'kan sakit," timpal sang Nenek yang berbicara dengan cucunya dari dapur.

Tidak ada jawaban dari Arya, sang perempuan tua tersebut merasakan ada yang salah dengan hubungan para anak muda yang biasanya begitu akrab. Bisa dibilang Aksata adalah orang favorit Arya, dia selalu bersemangat untuk mengantarkan makanan ke rumah Aksata sekali pun dalam kondisi panas, hujan, atau tubuhnya sakit sekali pun.

Dapat diingat dengan jelas bagaimana sang Nenek berterimakasih dengan niat baik keluarga Aksata yang bukan siapa-siapa mendirikan rumah sakit di desa terpencil ini. Lebih tepatnya ke Aksata, konon Ibunya juga manusia yang tidak peduli sesama. Sang Nenek ikut tidak enak apabila Arya membuat kesalahan pada Aksata yang sudah terlalu baik.

Pengguna kebaya tersebut datang tergopoh ke kamar Arya.

"Kamu lagi marahan sama Ata? Sampai kapan? Kapan baikannya?" tanya Nenek.

"Nggak tahu," ucap Arya sambil menundukkan kepala, dia sudah rindu dengan suara tawa Aksata.

"Memangnya Ata buat Arya kesal? Kalau begitu ingat juga Ata sudah buat Arya sembuh."

***

Wangi teh yang sudah diseduh membuat Aksata merasa hangat. Diseduh langsung oleh Ibunya yang tinggal dengannya untuk waktu yang sedikit lama. Sampai Aksata merasa lebih baik mungkin, senyum cantik mode Ibu rumah tangga seperti ini tidak pernah gagal.

"Kebun teh Pak Anton panen, terus Mami dikasih. Katanya terima kasih buat rumah sakitnya, di sini banyak nyamuk, Ata. Dulu anaknya ada yang kena telat penanganan digigit nyamuk DBD, sekarang aman." Wanita cantik itu meniup seduhan teh yang ingin dia gunakan untuk menyuapi putranya yang seperti sudah bosan hanya duduk sambil melukis di kamar, pun belum ada satu pun pola yang terlihat di kanvas.

Aksata tersenyum sambil mendengarkan Ibunya bercerita, akhirnya dia tahu bahwa apa yang dia lakukan telah berhasil membuat Mandira begitu berkesan.

"Ata, Mami mau keliling Mandira juga. Katanya dulu kamu ajak mantu Mami keliling?"

"Mantu?" tanya Aksata.

"Iya, kamu semalem ciuman sama dr.Jaisy, kamu pikir Mami nggak tahu?" Mendengarnya tentu Aksata malu, pemuda dengan rona pasi tersebut menutup matanya karena malu. Pemilik lesung pipi di samping Aksata tersebut hanya menanggapi dengan senyuman menggoda.

"Ata susah jalannya, nggak bisa ngajak Mami keluar. Nggak bisa pake kursi roda juga, jalannya becek."

"Kan Mami bisa gendong Ata," ucap perempuan yang tetap cantik di usianya yang mulai senja tersebut.

"Emangnya Mami kuat?" tanya Aksara mengejek, sedikit menyelipkan tawa karena jarang sekali Ibunya itu bercanda. Isi kehidupan orang itu hanya diisi keseriusan, kekhawatiran, dan mode Ibu Direktur semata.

Orang yang dipanggil Aksata Mami tersebut mengangkat Aksata susah payah karena ukurannya yang memang sudah besar. Aksata tertawa, Ibunya juga tertawa karena sepertinya dia sudah tidak bisa menggendong Aksata.

"Bisa!"

Aksata menepuk-nepuk Ibunya meminta diturunkan.

"Mati terguling nanti hahaha!"

Dafa melihatnya dari jendela yang terbuka, sepertinya hanya dia yang dilanda resah tidak karuan saat terpisah dari Aksata. Aksata tidak merasa terpuruk sama sekali, hidupnya tetap bahagia dan tidak ada yang berkurang meski pun ditinggalkan. Mungkin sejak awal, yang menganggap hubungan mereka adalah sahabat hanya Dafa.

Titimangsa ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang