17. Reckless

308 31 19
                                        

"Arya nggak apa-apa, 'kan, Sayang? Maksudnya dia nggak kena kanker lagi, 'kan?" Pertanyaan dari Aksata justru memberikan Jaisy sensasi geli yang dia sukai, dipanggil 'Sayang'.

"Enggak, demam berdarah kaya orang-orang Mandira pada umumnya. Kemarin Arya udah tes juga untuk memastikan," terang Jaisy, Aksata menghela napas.

Ia lega temannya atau bisa juga disebut mantan temannya itu baik-baik saja, tiga hari sudah cukup membuat Arya jauh lebih baik. Tentu, Natalia harus mengeluarkan anggaran pribadinya lagi demi niat mulia anak semata wayang---Aksata.

"Jangan main di semak lagi, ya? Sementara." Aksata memberikan lotion anti nyamuk di sekujur tubuh Arya yang hanya dapat mematung, mencoba berdamai dengan diri sendiri yang merasa bersalah dengan perlakuan Aksata.
Pemuda setinggi seratus delapan puluh senti itu memperlakukannya lebih baik daripada raja selama dirawat.

"Aksata, kamu nggak apa-apa?" tanya Jaisy ketika menyaksikan perubahan ekspresi Aksata. Anak itu menunduk sambil menghela napas berkali-kali, mencoba mengenyahkan rasa tidak nyaman yang berlahan merasuki dirinya.

"Kamu kecapekan, sudah, istirahat." Jaisy memegang pundak Aksata, lalu menuntunnya untuk duduk di sofa.

"Ta, sorry." Hanya itu yang bisa Arya suarakan.

Aksata meletakkan kepalanya di pundak Jaisy, dia tersenyum dengan sisa tenaganya, lalu tertidur.

***

Entah kenapa dunia ini sangat tidak adil bagi orang baik. Semua keadaan orang-orang di Mandira menjadi semakin sehat seiring berjalannya waktu, sementara sang pemilik rumah sakit justru terbaring di atas ranjang sepanjang waktu.

Orang-orang di Mandira mendapatkan pertolongan yang cepat dan tepat, mendapatkan vaksin, lalu bisa menjalani hidupnya dengan nikmat. Sementara Aksata? Dia bahkan tidak mengenali pagi atau petang, lambat laun dia menjadi sosok yang terpenjarakan dalam tubuhnya sendiri.

Kelelahan kemarin tampak berakibat begitu berlebihan untuk kondisinya yang tak kunjung membaik.
Kaki yang mulai kurus dipijit oleh Nenek Arya yang datang dengan sekeranjang ceri, berharap Aksata akan merasa senang dengan hasil memetik ceri segar di hutan. Ternyata dia hanya bergeming sambil menikmati oksigen yang keluar dari ujung selang yang melintang.

"Ata mau ketemu Dafa?" tanya Arya, hati-hati dan lembut takut mengganggu kegiatan Aksata yang sebenarnya hanya merasakan sakit yang diakibatkan oleh pijatan Nenek.

Aksata tidak punya suara di balik tenggorokannya yang beberapa hari ini sudah dirajang oleh ventilator.

Sebenarnya jika Aksata mengiyakan dia tidak tahu cara membawa Dafa kembali. Mungkin Arya harus datang ke kota lalu menarik pria itu kembali ke Mandira.
Dafa tidak mau membaca pesan jika ada nama Aksata di dalamnya, mengangkat ponsel pun enggan, bahkan Arya disenyapkan karena terlalu berisik.

***

"Kalau begini apa boleh buat? Semoga selama di Mandira sudah cukup membuat Aksata menghargai hidupnya." Dialog yang dibenci Jaisy, mana mungkin Aksata terkesan? Selama ini bukankah dia di Mandira sambil membahagiakan orang lain terlebih dahulu?

Jaisy mengusap air matanya yang jatuh tiba-tiba, tanpa persiapan.

Gadis cantik tersebut meninggalkan ruangan, matanya bengkak dan merah. Wanita di resepsionis memanggilnya, memberikan sebuah bungkusan mewah bermerk Prada dan LV.

"Ini paket untuk nyonya Jaisy Wirayuda." Wanita itu menggoda, Jaisy mengingat perkataannya di bukit rendah beberapa waktu lalu. Dia semakin kuat menangis, terduduk sambil menutupi wajahnya yang jelas sangat buruk.

"Loh loh, dr.Jaisy kenapa?" tanya sang Resepsionis panik.

Kenapa sosok sebaik ini harus menderita sampai mati?

Titimangsa ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang