Jaisy dan Arya langsung menuju tempat di mana mereka mengingat tumbuhan itu ditemukan. Mirip semanggi dan tumbuh di dekat semanggi pula, mereka harus sedikit lebih teliti agar tidak mencabut tumbuhan yang salah. Jaisy sudah mempersiapkan pot kecil untuk media pindah tanam, agar tetap segar saat dibawa ke kota.
"Jaisy? Kenapa banyak yang di makam Dafa?" Ramai sekali orang yang datang ke ujung danau tempat mereka berdiri. Rasanya mustahil jika bahkan semua pengguna almameter putih itu datang untuk sekadar menabur bunga untuk Dafa.
Jaisy dan Arya berlari ke kerumunan. Tempat ini hampir penuh, semua orang datang ke pemakaman dengan suasana iba. Sebuah peti mati menjadi primadona, masih terbuka dan menampilkan tubuh pucat berbalut jas hitam yang rapi. Mirip dengan jas yang digunakan Dafa terakhir kali. Tentu Jaisy dan Arya tertegun segera.
Mata Jaisy membola sepenuhnya, pot kecil yang dia bawa jatuh berserak. Tidak tahu kenapa orang-orang tidak memberitahunya tentang kematian Aksata, meski diberi tahu atau tidak rasanya tetap sama lara. Jaisy mulai meraba mulutnya, menutupnya rapat-rapat lalu menangis.
"Kok? Kok Ata di sini?" Jaisy jatuh berlutut menyetarakan posisi antara dia dan juga Aksata.
Semua orang sedang berduka sekarang, tidak ada satu pun yang tidak merasa. Mereka mulai menceritakan bahwa Aksata adalah orang baik, bukan rumah sakit yang berjasa, mungkin orang-orang sudah cukup tahu tentang hal itu. Hal-hal kecil seperti Aksata yang sopan dan selalu memperhatikan hal-hal kecil agar penduduk tidak merasa tertinggal. Apakah warga pernah makan sesuatu dari kota contohnya.
"Aksata? Aku ... tunggu sebentar lagi, Ata! Aku udah punya obatnya. Maaf terlambat! Maaf, tolong bertahan sebentar lagi." Jaisy meraih tangan Aksata yang berada di perut, tidak ada tenaga sama sekali karena ini hanya raga kosong yang ditinggal nyawanya.
"Tolong bertahan sebentar lagi, bangun sebentar lagi. Aku bisa sembuhin kamu! Ata! Ayooo, aku mohon." Derai air mata Jaisy tidak bisa dihentikan, melihat anaknya mati dalam keadaan dicintai sang Ibu kembali menangis. Padahal kemarin dia sudah mencoba mengikhlaskan anak semata wayangnya untuk dikembalikan ke Tuhan, tempat di mana dia bisa sehat dan bahagia.
Tangan Aksata yang masih terlihat penuh dengan bekas jarum dicium Jaisy, menyayangi setiap sentuhan Aksata karena besok mereka tidak bertemu lagi.
Pemakaman ini bernuansa kelabu, diikuti kabut gelap yang siap untuk menurunkan hujan. Sudah gerimis, para dokter menarik Jaisy yang sudah seperti orang linglung menjauh agar prosesi pemakaman tetap dapat dilaksanakan.Dengan pandangan yang hanya berfokus pada Aksata, Jaisy menyaksikan bagaimana Aksata mulai tenggelam dalam tanah. Kemudian nisan bertuliskan Aksata Wirayuda bertengger sebagai mahkota dan berjejer dengan nisan milik Dafa Anggara. Usia yang setara, mati pun tak jauh berbeda, romantis.
"Ini time capsulenya. Untuk Arya dan Jaisy karena Dafa sudah tidak ada." Kotak yang mereka kubur beberapa bulan lalu diberikan ke Arya.
Orang-orang mulai meninggalkan tempat.
Arya masih belum membuka kotak, perasaannya masih kacau balau. Mereka berdua tidak mau beranjak sekalipun hujan turun, setidaknya pohon besar sudah sedikit menghalangi hujan."Hahaha, dark jokesnya Dafa!" Arya duduk di tengah-tengah makam, merangkul nisan dua temannya lalu menangis.
Jaisy juga tidak bisa melakukan apa pun selain menangis. Banyak bunga di makam Aksata karena bahkan anak-anak kecil mencari bunga hutan untuk dipersembahkan di peristirahatan terakhir Aksata.
30 Juli 2024
Aksata! Kenapa kamu pergi? Aku berusaha keras di sini lalu kamu menyerah? Untuk apa lagi tanaman ini?
Kisah-kisah kita yang buntu itu harus bagaimana aku menyelesaikannya? Kelanjutan dari janji yang sama-sama tidak bisa kita tepati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titimangsa ✔️
FanfictionMandira, 20 November 2023 Saat aku pertama bertemu dengannya. Aku tuliskan dengan indah bagaimana dia datang menjemputku setelah hujan, lalu dia juga yang meninggalkan aku di tengah hujan.