3. Perjalanan Pertama

480 40 10
                                        

Kabut-kabut masih menyapa kawasan desa tanpa tetangga ini, begitu dingin sampai Aksata harus mencari jaket yang lebih hangat. Bibirnya yang kering kembali berdarah karena ia menggigitnya, menyalurkan rasa sakit yang ia terima dari persendiannya. Ia menggigit bungkus koyo dan merobeknya dengan mulut, meletakkan satu persatu koyo tersebut di bagian-bagian yang meronta meminta diistirahatkan.

Aksata tidak mau mengingkari janji, liburnya Jaisy itu tidak setiap hari pun kemarin dia begitu semangat, tidak bisa menunda lagi karena rasanya dia juga takut tidak dapat berjalan ke sekitar Mandira lagi.

Setelah koyo di belakang lututnya dipasang, Aksata menurunkan celananya menutupi seluruh kaki yang kedinginan.

"Ataaaa!" Suara itu bersahutan dengan bunyi bel sepeda, teman-temannya sudah ada di depan. Mereka begitu antusias untuk tur kecil ini.

Aksata keluar dengan tas punggung yang kebanyakan diisi oleh obat-obatan, takut jika merepotkan teman-teman di dalam perjalanan.

Dafa dan Arya sudah tiba, dengan sepeda yang dinaiki berdua.
Sementara Aksata harus mengeluarkan sepedanya sendiri dari samping rumah, tentu Jaisy yang datang paling akhir akan menaiki sepeda bersama Aksata.

Mereka keluar dari pemukiman Mandira, bersepeda dan tertawa karena jalannya tidak begitu rata. Di kanan dan kiri adalah hutan yang indah, penuh dengan pohon-pohon buah yang selalu produktif setiap musin. Mata pencaharian orang-orang Mandira adalah petani, mereka menanam sendiri bahan pokok mereka karena jarang ada pemasok bahan pangan ke desa terpencil ini. Meski begitu, dunia kecil ini terlihat sangat makmur jika masalah makanan.

"Aksata! Sini biar aku yang bonceng kamu, biar kamu bisa hemat tenaga hari ini sampe sore!" Jaisy menarik-narik pakaian Aksata.

"Nanti pulangnya aja, Jes."

Keberadaan Jaisy mungkin adalah kartu as bagi kelompok muda ini, jika terjadi apa-apa kepada Aksata akan ada pertolongan pertama setidaknya sampai Aksata dapat diselamatkan.

Keberadaan Jaisy mungkin adalah kartu as bagi kelompok muda ini, jika terjadi apa-apa kepada Aksata akan ada pertolongan pertama setidaknya sampai Aksata dapat diselamatkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Empat anak sebaya itu berlari ke pohon yang berbuah lebat, meninggalkan sepedanya. Dafa lantas melempar begitu saja sepedanya dan berhambur ke pohon ceri kesukaan semuanya, Arya dan Jaisy juga sama berhamburan karena ingin memiliki lebih banyak ceri yang menggoda. Aksata memarkir sepedanya dengan benar, anak ini adalah yang paling sabar.

"Ata, ini manis banget!" Jaisy langsung melahap buah merah itu sambil tersenyum sampai matanya hilang.

"Nggak dicuci dulu?" tanya Aksata.

"Gak apa-apa, Ata. Ini ceri liar nggak ada pestisidanya," ujar Arya bahkan memakan ceri dari tangkainya yang masih utuh, selingan tawa terdengar di antara ketiganya.

"Ya siapa tahu udah pernah kena tai burung atau kena ulet bulu," ujar Aksata, ketiga teman sebayanya lantas berhenti mengunyah dan mengeluarkan ceri yang sudah masuk ke dalam mulut.

Aksata tertawa kecil melihat tingkah orang-orang semi dewasa ini, lantas mengeluarkankan mangkuk kecil dari dalam tas punggungnya. Mereka mengerti maksud Aksata, memetik yang banyak sampai mangkuknya penuh dan dicuci di danau dekat sini. Air mata pegunungan adalah yang terbaik di bumi.

Titimangsa ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang