Di antara geng tanpa nama itu, rasanya Dafa adalah yang paling sering menyinggung soal kematian. Dia yang selalu melemparkan kematian sebagai bahan bercanda lalu menyiapkan hal-hal konyol yang berhubungan dengan kematian mereka.
Seperti sekarang, Dafa mengajak dua teman tak sehatnya itu untuk bermain di sekitar danau yang jarang terjamah oleh masyarakat sekitar karena letaknya yang cukup jauh dari perkebunan. Danau jernih itu di dihiasi pohon-pohon cemara dan juga bunga liar yang cantik luar biasa, di Mandira sendiri sepertinya terdapat lebih dari puluhan danau jernih, dan setelah menjelajah selama tiga tahun terakhir semenjak Dafa tinggal di sini dia sudah memastikan bahwa ini adalah danau terindah.
"Wasiatnya udah jadi belum?" tanya Dafa, dia menengok ke arah Arya dan Aksata yang sudah melakukan intruksinya membawa kotak kayu yang dia berikan kemarin untuk diisi barang-barang yang berhubungan dengan mereka, ceritanya ingin membuat time capsule.
"Kenapa harus punya surat wasiat, sih? Serem banget?" tanya Arya, menurutnya dia sudah cukup sembuh dengan predikat remisi. Namun, hal menakutkan lainnya adalah jika saja Dafa atau Aksata yang tiba-tiba mati.
"Lo gimana, sih? Namanya manusia nggak hidup selamanya, Arya. Ini kalau gue mati duluan, kalian harus gali tempat ini terus baca isi hati gue yang paling dalam," tutur Dafa panjang kali lebar.
"Halah, kita udah tahu lo paling bucin di antara kita bertiga. Lo mau bilang lo sayang Aksata sama Arya, 'kan?" ledek Aksata, Arya ikut mengejek Dafa.
"Aduh hidup kalian nggak ada enak-enaknya. Pokoknya kalau kita mati kita harus dikuburin jejer di sini!" Dafa meletakkan kotak kayunya di tengah-tengah mereka berdiri.
"Biar apa? Biar jadi peri danau gitu?"
"Terserah!" Dafa lelah dengan dua temannya yang tidak bisa serius, mereka berdua bahkan kompak tertawa.
"Gue mau di sini nih, di tengah soalnya gue paling ganteng." Dafa memberi tanda pada tanah yang rencananya akan dia pakai untuk beristirahat dengan tenang.
"Aksata di sini! Terus Arya di sini!" Dafa menunjukkan dua titik.
"Kok gue deket pohon? Mepet banget badan gue bisa kejepit akar!" protes Arya.
"Badan lo kecil, berisik banget."
Aksata hanya tertawa karena ia merasa lebih baik. Dia tidak lagi menolak soal penyakitnya, dia tidak lagi merasa iri terhadap sepupu-sepupunya yang bisa mewujudkan mimpinya di dunia olahraga seperti yang dia inginkan dulu. Berteman dengan Dafa dan Arya membuatnya merasa bahwa meski sakit seseorang harus menghargai lukanya.
Sedikit demi sedikit mereka mulai menggali tanah, lalu mengubur kotak kayu yang berisi banyak hal di dalamnya itu.
Jika suatu hari nanti kotak kayu itu termakan usia, semua orang bersyukur karena mungkin usia ketiganya menjadi lama.
***
Hasil panen padi menggunung di dalam lumbung, mereka bisa panen sepanjang tahun karena curah hujan yang cukup untuk menanam padi. Hari ini perayaan di desa dan seluruh penduduknya bersuka cita.
Banyak makanan dan juga perayaan tradisional. Jaisy berdiri di depan rumah sakit, menyaksikan bagaimana pemandangan indah itu semakin bermakna dengan orang-orang yang menari dengan musik seadanya. Bagaimana orang-orang baik itu menjadi rukun, dan bagaimana ketiga temannya menikmati pesta hari itu tanpa kesakitan.
"Kamu mau main?" tanya dr. Aya lantas mensejajari Jaisy.
"Eh, mana bisa gitu? Lagi kerja."
"Santai aja ini Mandira, lagipula kamu pasti baru lihat perayaan seperti ini, 'kan di sini?"
"Tuker shift, ya, Dok?" Setelah yang lebih tua mengiyakan, Jaisy melepas jaket dokternya lalu bergegas menuju tempat teman-temannya berada.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Titimangsa ✔️
FanfictionMandira, 20 November 2023 Saat aku pertama bertemu dengannya. Aku tuliskan dengan indah bagaimana dia datang menjemputku setelah hujan, lalu dia juga yang meninggalkan aku di tengah hujan.
