9. Fight For

288 31 13
                                        

Rerumputan setinggi mata kaki terinjak oleh dua pasang sepatu converse. Tempat ini sedikit lebih tinggi, tidak jauh dari pemukiman, dan menghadap langsung dengan sinar rembulan. Jaisy senang meski pun tempat yang dimaksud Aksata tidak pernah keluar dari kawasan Mandira.

Setiap sudut tempat ini begitu indah, mereka nyaman duduk di atas rerumputan dan angin malam menyapu kulit porselen Jaisy.
Rembulan besar itu benar-benar membuat garis wajah Aksata yang tegas terlihat, siluetnya terlihat tajam dan gagah, tapi rona tubuhnya berbeda.

"Banyak tempat yang lebih indah dari ini kata Arya, tapi sorry." Jaisy menepuk tangan Aksata, seolah mengerti dengan keadaannya.

"Tempat ini juga indah, kok. Ngomong-ngomong kamu kenapa ngajak aku ke sini?" tanya Jaisy.

Aksata merebahkan tubuhnya di atas rerumputan. Ia lelah, memerlukan waktu yang panjang untuk sampai di tempat ini.
Jaisy juga mengikuti Aksata, merebahkan diri di samping pemuda yang tampak penuh dengan pikiran itu.

"Seenggaknya harus ada yang tahu surat wasiat kita di mana. Kemungkin uniknya kita bertiga mati bareng."

"Ngomong apa, sih? Bawa-bawa kematian Arya juga, orang dia udah sembuh!" protes Jaisy, dia yang paling tidak suka gaya bercanda yang ini. Senyum miring Aksata terlihat, padahal begitulah caranya menerima nasib yang mereka punya.

"Seandainya yang Dafa mau itu cuma semanggi daun empat."

Jaisy pikir pertemuannya malam ini akan bertemakan perasaan masing-masing. Ternyata masih sepuutar pertemanan mereka, Jaisy sedikit kecewa karena terluka pada harapannya, sementara ia juga merasa harus bersikap dewasa. Mungkin Aksata tidak memiliki perasaan yang sama, ia hanya butuh didengarkan malam ini.

"Emangnya Dafa mau apa?"

"Vicky."

Sementara Vicky tidak menyukainya. Entah apa yang membedakan Aksata dan Dafa sampai hal tersebut menjadi pembeda, keduanya sekarat.
Justru Aksata membenarkan jika orang-orang berkata bahwa Dafa seperti pangeran salju di Mandira yang beriklim tropis.

***

Vicky tahu di mana Aksata, dia pergi menikmati rembulan bersama perempuan lain. Vicky tidak iri dengan kecantikan gadis yang dia anggap biasa saja, keuntungan besarnya mungkin karena dia dokter dan Aksata merasa dia akan baik-baik saja selama berada di dekat Jaisy.

Gadis itu kembali ke tempat penginapan dengan hati yang berkecamuk, ia benci perasaannya sendiri. Kenapa dia tidak bisa membuat Aksata jatuh hati sejak dulu? Kenapa perasaannya tidak berpindah saja ke sosok lain yang menghargai betapa indah ukiran di wajahnya itu.

"Nyatain aja nyatain!" Suara bisik-bisik terdengar dari balik semak, entah apa yang dilakukan dua pemuda itu sekarang, Vicky tahu jika itu adalah Dafa yang dikenapnya di sekolah menengah atas dan juga pria lucu bernama Arya.

Arya mendorong tubuh Dafa yang kikuk total ke arah Vicky. Senyum terindah di Mandira menyapa Vicky, hati Vicky semakin sakit karena mengetahui bahwa wajah Dafa sangat tampan tapi dia tidak bisa menyukainya, dan hanya Aksata yang berhasil membuka pintu hatinya.

"Vicky, ini ... ini alay, idenya Arya goblok. Tapi semoga kamu suka," ucap Dafa sambil memberikan seikat bunga yang dipetik dari sekitaran Mandira. Bunga lily, daisy, matahari, mawar, dan melati dalam satu ikatan daun jerami. Vicky suka bunga, semua bunga yang dilihatnya termasuk hal indah yang ingin Vicky hirup.

Gadis cantik itu menangis lalu membuat senyum Dafa hilang, begitu pun tawa cengengesan Arya yang tiba-tiba menjadi sungkan.

"Kenapa lo ngasih gue bunga? Lo suka sama gue?" tanya Vicky tanpa basa-basi.

"Iya, tapi kalau misal lo nggak suka sama gue nggak apa-apa lo nggak perlu nangis."

"Kenapa lo yang ngasih bunga? Bukan Aksata? Kenapa lo yang suka gue? Kenapa bukan Aksata?" Dua sobat itu merasa terkejut saat pernyataan gamblang itu muncul dari mulut Vicky.

"Gue udah ngasih apa pun yang gue punya buat Aksata."

***

Selama berteman dengan Aksata, Dafa tidak pernah berpikir bahwa dia akan terlibat hubungan yang begitu canggung seperti ini.
Dia mencoba membebaskan naluri remajanya untuk tidak memikirkan hal-hal romansa antara dirinya dan Vicky karena usianya pun di ujung tanduk, dengar-dengar fungsi jantungnya sudah sangat memburuk dan membutuhkan donor sesegara mungkin.

Itu bukan kabar burung karena Dafa akan berjuang rutin tiap malam dan jika ada kejadian tak terduga penyakitnya akan kambuh juga di waktu siang.

"Kamu itu nggak ada bedanya sama Aksata, nggak boleh kecapean. Kenapa mainnya jauh banget, sih?" Ibunya mengomel, keluar masuk ruangan untuk tetap membuat anaknya hidup.

Mulai dari menumpuk bantal di punggung Dafa, sampai membuat anak itu bernapas lebih leluasa. Lalu memastikan saturasi oksigen dari nassal canulla itu cukup membuat Dafa bernapas.

"Jangan diomelin terus dong orang lagi sakit," ucap Ayahnya yang hari ini menyempatkan waktu untuk melihat anaknya di sini, karena mungkin saja mereka akan berpisah secepatnya, Pak David jadi ingin memeluk Dafa lebih lama.

Suara berisik batuk Dafa mungkin menjadi pengganti suara berisik jangkrik di malam hari, sang Ibu membantu Dafa meminum obat yang berujung tersedak.

Dengan cekatan sang Ayah menyodorkan pispot yang digunakan Dafa untuk segera memuntahkan obat yang tersangkut di tenggorokan dengan rasa pahit yang begitu membuat mual.

"Kita bawa ke rumah sakit, ya?"

Dafa menggeleng, memegang pundak sang ayah untuk bertumpu.

"Mau me time sama Papa."

Entah hanya alasan karena muak di rumah sakit atau memang keinginan Dafa yang merindukan Papa. Namun, itu berhasil membuat sang Ayah menghangat dan membiarkan anaknya di rumah.

"Pelan-pelan aja napasnya, rileks. Papa tahu itu susah." David membiarkan anaknya nyaman di posisi setengah terlentang.

"Papa, kenapa Aksata lebih menarik, ya?" Sebelum didiagnosa terkena penyakit serius Dafa tidak pernah mempertanyakan hal itu, jawabannya jelas karena Aksata bisa melakukan banyak hal di lapangan sementara dia tidak.

"Kamu lagi rebutan cewek, ya?" tanya David, merapikan letak selimut anaknya. Hari ini dia akan membiarkan isterinya istirahat, setiap malam keluhan Dafa selalalu hadir sampai tidak hanya Dafa yang sakit.

"Enggak, nggak bisa dibilang begitu juga," ucap Dafa, wajahnya sedih.

"Mama dulu juga naksirnya ke Bapaknya Aksata, kok. Tapi jadinya ke Papa tuh, tenang aja. Wanita lebih memilih yang bekerja keras dan pantang menyerah."

Dafa tersenyum geli. Senyumnya berlahan menghilang dengan seiring tubuhnya yang mulai dingin, ia sudah tidak dapat mengendalikan laju detak yang semakin lama semakin sulit.

"Daf?" Tubuh Dafa lunglai, sesaat setelah senyumnya hilang.

Tubuh tegap ayahnya menggendong Dafa ke luar rumah, persetan jika ini tengah malam. Lain kali dia tidak akan mendengarkan ucapan Dafa jika tidak ingin di bawa ke rumah sakit apa pun alasannya.

***

😔 BTW JAY SAKIT BJIR, INI GUE PEN MENJENGUK TAK ADA KUASA. YANG SAKIT KARAKTER AJA PLZ LO GAUSAH SAKIT BENERAN JAY

Titimangsa ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang