Mandira, 10 Februari 2024
"Buat Kak Ata!" Banyak dari anak-anak desa yang pergi ke hutan untuk bermain, katanya saat melihat ceri tumbuh lebat di hutan. Aksata tersenyum, heran kenapa anak-anak ini tidak takut dengan dia yang sudah sekurus dan sepucat ini. Lebih mirip zombie menurutnya.
"Makasih," jawab Jaisy sambil mengambil ceri yang dibawa anak-anak kecil tersebut.
Jaisy menaruh buat tersebut di atas pangkuan Aksata.
Anak perempuan dengan malu-malu datang, mempersembahkan seikat bunga hutan yang cantik. Aksata meski kesulitan untuk tersenyum, bibirnya bergerak. Dia tidak ingat kapan dia begitu berarti bagi anak-anak, ia tak pernah berinteraksi langsung dengan bocah-bocah Mandira."Bapak dan Ibu selalu bilang di rumah, Kak Aksata itu orang baik. Paling baik di dunia ini, meski sakit. Kak Aksata sudah menyembuhkan banyak orang," tutur gadis kecil berkulit putih bersih tersebut.
"Memang Bapak atau Ibumu nggak pernah cerita soal dr. Jaisy?" tanya Jaisy iri, padahal yang kerja lembur juga dokter bukan Aksata.
"Cerita, sih. Katanya dokter muda yang namanya si Jaisy Jaisy itu galak. Nyuntiknya sakit!" Mendengar itu Aksata tertawa, satu kata yang ingin dia sampaikan dari dulu adalah 'injeksi tersakit berasal dari Jaisy'. Jaisy hanya tertawa padahal sempat marah, karena itu mengundang tawa Aksata, Jaisy akan menerima itu sebagai hadiah.
"Tapi kamu kenapa ngasih bunga ke pacarku?!"
"Kak Aksata, aku nunggu Kakak sembuh. Kakak tunggu aku besar ya?" Gadis kecil itu tersenyum cerah seperti cuaca Mandira pagi ini. Setelah mengecup ringan pipi Aksata yang dilintasi selang pernapasan, gadis usia sekitar delapan tahunan itu berlari pergi sambil bermain bersama teman-temannya.
"DIH! cowok gue!" protes Jaisy, menghapus pipi Aksata dengan tisu. Lalu menciumi pipi Aksata yang awalnya tanpa rona menjadi bersemu.
"Cuma anak kecil."
"Sepuluh tahun lagi dia lebih cantik dari aku," ucap Aksata.
"Sepuluh tahun?" Aksata menunjukkan wajah tidak bahagia. Jaisy mengerti maksudnya, tentang vonis itu.
"Hei!" Tangan Aksata yang ditempeli plester pereda nyeri digenggam, Jaisy mensejajarkan tingginya dengan Aksata yang duduk di kursi roda.
"Kamu jangan percaya vonis. Aku janji aku bakal belajar lebih giat lagi biar bisa ngobatin kamu, mungkin nggak hari ini tapi suatu hari nanti." Mendengar itu Aksata hanya tersenyum, menatap Jaisy dengan penuh cinta. Orang-orang melarang pemuda kepayahan itu untuk istirahat, seluruh tubuhnya sedang meminta untuk diistirahatkan.
Jaisy ingin menangis, wajah Aksata terlihat lelah. Untuk tersenyum pun Aksata kelelahan, dia hanya tidak ingin melepaskan orang terbaik di dunia itu sekarang.
***
Di tempat lain Dafa sedang menunggu jadwal operasi yang akan dimulai malam ini. Ia sangat gugup karena akhirnya dadanya yang bidang itu harus dibuka, itu terasa menakutkan.
"Kita harus tetap menjaga tekanan darah dan juga detak jantungnya normal sebelum operasi nanti malam," interuksi seorang dokter kepada perawat yang membawa selembar kertas dan sebuah papan kecil untuk menulis.
Dafa gelisah sejak semalam, ia hanya berbaring tanpa melakukan apa-apa sebelum dioperasi. Hanya berkedip sambil menikmati bagaimana selang itu menyambung hidup.
![](https://img.wattpad.com/cover/375116039-288-k957771.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Titimangsa ✔️
FanfictionMandira, 20 November 2023 Saat aku pertama bertemu dengannya. Aku tuliskan dengan indah bagaimana dia datang menjemputku setelah hujan, lalu dia juga yang meninggalkan aku di tengah hujan.